Oleh : Socratez Sofyan Yoman (*)
Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Dr. Hj. Susilo Bambang Yudoyono, pada 16 Agustus 2008, SBY menyatakan: “Kebijakan pemerintah yang bersifat persuasif, proaktif, dan berimbang, ternyata mampu meyakinkan berbagai pihak, bahwa kekerasan, bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah”. Pidato kenegaraan SBY, 16 Agustus 2010 “Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik”. Pidato kenegaraan SBY pada 16 Agustus 2011, SBY mengatakan: “ Menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”.
Dalam pidato-pidato Presiden dapat disampaikan dengan jelas, terang, tegas, dan juga dapat dikatakan jujur. Dalam penyelesaian setiap permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan kebijakan dan pendekatan pemerintah yang bersifat persuasif, proaktif dan berimbang dan bahwa kekerasan, bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah. Presiden juga menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan masalah Papua dengan menjalin komunikasi yang konstruktif. Dan pidato terbaru dari semua yang disampaikan selama ini adalah “menata Papua dengan hati,adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”.
Menganalisis dari pesan-pesan moral, etis dan politik yang disampaikan Presiden melalui pidato-pidato kenegaraan yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa SBY sebenarnya mengetahui akar masalah dan keinginan rakyat Papua. SBY juga sudah yakin bahwa masalah Papua sesungguhnya memiliki konteks sejarah masa lalu yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. SBY sebagai seorang mantan militer dan pernah menjabat sebagai Menkopolhukham mengetahui dengan benar, teliti dan saksama tentang akar masalah Papua. SBY bukan saja seorang mantan militer tetapi seorang cendikiawan, pemikir dan mempunyai pertimbangan-pertimbangan jauh dan mendalam sebelum melangkah dan bertindak. SBY juga seorang demokrat yang tidak menghendaki melukai dan mencederai nurani sesama manusia. SBY memang dinilai dari lawan-lawannya (rivalnya) bahwa SBY adalah sosok yang lamban dan tidak konsisten dalam perkataan dan tindakan. Tapi, yang jelas dan pasti: SBY tidak mau disalahkan dan juga tidak mau diadili oleh rakyat Indonesia apabila keputusan yang diambilnya dapat merugikan posisi Indonesia tentang masalah Papua.
Sosok SBY hampir sama dengan seorang cendikiawan, intelektual dan teknokrat, B.J.Habibie adalah mantan Presiden RI yang ke-3 dan Abdulrahman Wahid adalah presiden RI ke-4. Habibie adalah seorang Muslim cerdas, jujur dan berpandangan luas. Gus Dur adalah seorang sosok manusia yang melihat setiap masalah bangsa dengan mata hati dan mati iman. Gus Dur adalah seorang humanis, moderat dan demokrat. Dalam pidato-pidato kenegaraan dari Habibie, Gus Dur dan SBY lebih mengedepankan etika moral dan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Dalam dunia terus berubah dan mengglobal ini, Presiden SBY melihat dan mengikuti setiap dinamika dan tekanan politik tentang status politik dan sejarah diintegrasikan Papua ke dalam Indonesia. Hampir setiap tahun, Presiden SBY, menerima surat dari berbagai penjuru dunia tentang persoalan ketidakadilan, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat keamanan, TNI dan POLRI di Tanah Papua. SBY pernah menyatakan penyesalannya kepada publik tentang peristiwa kekerasan Negara yang dilakukan oleh anggota TNI yang membunuh pendeta Kindeman Gire dan menyiksa warga sipil yang lain di Puncak Jaya: ” hanya karena kejadian kecil yang dilakukan satu bintara dan dua tamtama saya harus menjelaskan pada dunia, PBB, Eropa dan Amerika Serikat” (sumber: Antara, 22 Juni 2011). Yang lebih berat dan serius adalah kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam era Otonomi Khusus dan lebih khusus lagi adalah peristiwa tanggal 19 Oktober 2011.
Presiden SBY dapat mengetahui bahwa solidaritas masyarakat Internasional menekan Pemerintah Indonesia untuk membuka ruang dialog untuk menyelesaikan masalah Papua. Pemerintah Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negeri, Ibu Hillary R. Clinton, dan dengan terbuka telah disampaikan untuk mendukung dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua. Anggota Kongres Amerika, anggota Parlemen Inggris, Anggota Parlemen Uni Eropa, Anggota Parlemen Australia, dan Selandia Baru, Amnesty Internasional, Survival Internasional, Human Rigths Watch, Asian Human Rights Watch, dan Lembaga-lembaga kemanusiaan Internasional mendesak dan mendorong Pemerintah untuk berdialog dengan rakyat Indonesia.
Gereja-gereja juga menyampaikan suara kenabiaan untuk penyelamatan martabat umat manusia di Papua. Seperti World Communion of Reformed Chuches (WCRC) tanggal 20 Juni 2010 di Grand Rapids, Michigan USA menegaskan kembali dan mendukung Rekomendasi General Council WCRC Accra, Ghana, tahun 2004 yang menyatakan mendukung proses Dailog Papua-Indonesia dalam rangka Penentuan Nasib Sendiri (right for Self-Determination) bagi rakyat Papua.
Bukan saja dari masyarakat internasional yang memberikan simpati dan membangun solidaritas, tapi para cendikiawan Indonesia juga menyatakan untuk mendukung Papua. Dr. George Junus Aditjondro, pada kesempatan peluncuran buku saya yang berjudul: West Papua: Persoalan Internasional di kantor Kontras Jakarta, 03 November 2011 menyatakan: “PEPERA 1969 di Papua Barat tidak benar dan dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia bukan pilihan rakyat Papua untuk tinggal dalam Indonesia. Jadi, tak ada pilihan lain, Papua harus referendum. Karena hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak”. Sementara seorang ahli hukum dan pengacara terkenal yang dimiliki Indonesia, Adnan Buyung, SH, sudah menyatakan rasa keprihatinan dan pesimismenya. “Tinggal soal waktu saja, kita senang atau tidak, mau atau tidak, kita akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal” ( Sumber: detikNews, Rabu, 16 November 2011). Senada Adnan dan George, Prof. Dr. Budi Setyawan,M.S., ahli ekonomi Universitas Brawijaya Malang, pada 8 Novomber 2011 menyamapikan dalam kuliah, bahwa: “Pemerintah tidak akan membendung amukan massa rakyat Papua karena sudah lama mereka menjadi penonton di area P.T. Freeport Indonesia dan pemerintah sendiri tidak pernah membangun simpati dengan orang Papua sehingga mereka akan lebih mudah melepaskan diri dari NKRI”. Sedangkan peniliti LIPI, Ibu Adriana Elisabeth menyatakan: “ Karena sejarah dan status politik Papua merupakan akar masalah mendasar sekaligus isu paling sensitif”.
Memang, selama ini, kita di Indonesia tidak ada rasa keadilan dalam dunia pendidikan. Ketidakadilan itu terlihat dengan pelajaran sejarah perjuangan yang diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dan lebih khusus di Tanah Papua. Pelajaran tentang sejarah perjuangan bangsa, tokoh-tokoh, hanya ditonjolkan “Jawasentris” atau “Sumatrasentris, Sulawesisentris”, tapi menggelapkan sejarah suku-suku lain di Indonesia. Dalam konteks Papua, sejarah dan pengalaman rakyat dan bangsa Papua benar-benar dihancurkan, digelapkan, dihapuskan dengan berbagai bentuk kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan kekuatan aparat keamanan sejak 1960-an sampai tahun 2011.
Dalam spirit ini, hemat saya, sebenarnya Presiden SBY bisa saja mengambil keputusan politik tentang masa depan Papua. Tetapi sebagai seorang demokrat dan intelektual militer mempunyai pertimbangan tentang dampak-dampak positif dan negatif. Pendapat saya, sebenarnya SBY memberikan ruang kepada setiap pejabat dan seluruh rakyat Indonesia untuk belajar sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia. Sikap dan pertimbangan SBY adalah biarlah rakyat Indonesia sendiri yang memberikan kesimpulan dan keputusan tentang masa depan Papua. Artinya, kalau kebenaran sejarah rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan bahwa Papua bukan bagian dari wilayah Indonesia, maka pada saat itu seluruh rakyat Indonesia menyatakan: Selamat Jalan Kawan-Kawanku dari Papua. Dan mari kita duduk bersama-sama dalam meja-meja perundingan sebagai masing-masing bangsa yang berdaulat dan bekerja sama dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan.
Dalam hal ini, yang jelas dan pasti: SBY tidak akan lolos dari penghakiman, caci-maki, penghinaan dan ancaman dari rakyat Indonesia. Pada akhirnya, saya mau katakan: SBY sebenarnya tahu. Tapi, SBY seorang manusia yang cerdas dan arsitek dalam menghitung dan mempertimbangkan emosi dan pikiran rakyat Indonesia. Karena itu, dalam pidato kenegaraan, SBY dengan elegan dan bermartabat menyatakan, penyelesaian masalah Papua harus dengan kebijakan: (1) bersifat yang bersifat persuasif, proaktif, dan berimbang, ternyata mampu meyakinkan berbagai pihak, bahwa kekerasan, bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah; (2) terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih baik; dan (3) Menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”. Harapan saya, seluruh rakyat Indonesia dapat mengerti dan menangkap pesan-psan dalam pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden SBY tentang masalah Papua.***
* Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar