Kamis, 22 Maret 2012

Bukittinggi, Kota Perdagangan di Daerah Pedalaman Minangkabau




a. Peralihan Komoditi Emas & Lada ke Komoditi Kopi
Sejak lebih kurang dua abad lamanya, abad XV – XVII, Luhak Tanah Datar merupakan kawasan pusat Alam Minangkabau, tempat kedudukan raja Pagaruyung mengendalikan perdagangan dan penambangan emas di daerah pedalaman di daerah Buo, Sumpur Kudus, Saruaso, XX Koto dan Ophir di kawasan Pasaman. Gambar IV.9. menunjukkan jalur-jalur perdagangan emas ke daerah-daerah pesisir baik ke pantai barat maupun timur yang dikendalikan oleh kerajaan Pagaruyung. Emas telah menciptakan ciri ekonomi yang khas dari Luhak Tanah Datar yang membedakannya dengan Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh (Nain, 1988). Dengan adanya perdagangan emas pedalaman ini telah membuka daerah pedalaman untuk dapat berinteraksi dengan kawasan pinggiran, yaitu antara luhak dan rantaemas telah menjadikan kedua kawasan ini penting bagi dunia luar, walaupun ketelibatan perdagangan asing ini hanya terbatas pada perdagangan dikawasan pantai, karena perdagangan di pedalaman sepenuhnya berada di tangan orang Minang.
Di samping itu, bersamaan dengan perdagangan emas ini, di Luhak Agam juga sudah berkembang perdagangan komoditi lada, yaitu yang terkenal di Kamang, Tanjung, Sikabau dan Sikilang di kawasan utara pesisir pantai barat, yang sudah berkembang sejak abad ke-17. Perkembangan perdagangan lada telah memperluas keterlibatan pedalaman (darek) dalam proses interaksi dengan kawasan rantau. Mengalirnya arus perdagangan lada pedalaman ke kawasan pantai, menyebabkan beberapa tempat pemukiman berkembang menjadi bandar niaga, tempat pertemuan pedagang Minangkabau dan saudagar asing seperti Cina dan Eropa (Nain, 1988). Pada masa ini arus perdagangan dari pedalaman mengalir ke kawasan pinggiran atau pesisir yang merupakan kelanjutan perdagangan beranting yang menciptakan mata rantai pasar-pasar tempat timbulnya transaksi antara pedagang pribumi dan pedagang asing.
Perkembangan daerah produksi dan perdagangan lada di daerah pedalaman lebih luas dari daerah penghasil emas. Produksi dan perdagangan lada berkembang dengan pesat, sedangkan sektor produksi dan perdagangan emas sepenuhnya berada di bawah pengawasan raja. Daerah pedalaman makin berkembang ekonominya, apalagi ketika komoditi kopi mulai muncul di daerah pedalaman yang menggantikan kedudukan perdagangan lada dan emas (Nain, 1988).
Komoditi kopi mulai dikenal masyarakat Utara lereng Gunung Merapi semenjak 1780, diperkenalkan oleh pedagang Arab dan beberapa haji yang baru pulang dari Mekah. Zed (1983) mengatakan setelah tahun ini kemakmuran di Luhak Agam semakin meningkat, terutama setelah adanya permintaan kopi untuk di ekspor. Timbulnya komoditi kopi di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota sejak abad ke-18 telah menggeser perkembangan pedalaman secara keseluruhan. Luhak Tanah Datar yang semula berjaya dengan perdagangan emasnya mulai hilang kekuatannya. Lebih-lebih lagi dengan munculnya Gerakan Paderi, yang basisnya berada di luar pengaruh kerajaan, sehingga mempercepat mundurnya kekuatan ekonomi kerajaan Pagaruyung dan pengikutnya (Dobbin, 1983 dalam Nain, 1988).
Perkembangan komoditi kopi di Minangkabau sebelum kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda, perdagangan kopi masih bisa bergerak leluasa tanpa terikat ke dalam jaringan perdagangan yang dikuasai Belanda. Zed (1983) menamakan dengan masa perdagangan kopi bebas, yaitu sekitar tahun 1780 – 1833. Para pedagang dapat menjual langsung komoditi kopi melalui kontak-kontak dagang dengan pedagang asing seperti Inggris dan Amerika.
Perkembangan dari komoditi kopi ini telah sampai ke pasar-pasar di Padang pada tahun 1789, walaupun belum menjadi komoditi ekspor. Barulah sekitar tahun 1790, komoditi kopi mulai berkembang menjadi komoditi ekspor. Ini ditandakan oleh tidak kurang dari 8 – 10 kapal Amerika setiap tahun datang ke pantai Padang dan kembali dengan membawa muatan komoditi kopi (Zed, 1983).

b. Nagari Kurai V Jorong Dalam Perdagangan Komoditi Kopi

Nagari Kurai V Jorong, jika dilihat dari letak geografis, berada di tengah Luhak Agam (dibagian tengah Sumatera) dan berada dipersimpangan jalan yang menghubungkan kota-kota di sekitarnya. Letak ini menjadikan kota Bukittinggi sebagai tempat atau titik pertemuan jalur sirkulasi regional di Sumatera Bagian Tengah.Letak yang strategis ini telah menjadikan Nagari Kurai semakin ramai dikunjungi, apalagi dengan mulai mundurnya kekuatan ekonomi kerajaan Pagaruyung (uhak tanah Datar) yang semula berjaya dengan penambangan dan perdagangan emas, dan digantikan oleh berkembangnya perdagangan komoditi kopi yang dihasilkan di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.
Bergesernya komoditi perdagangan di daerah pedalaman Minangkabau dari emas ke kopi, secara tidak langsung memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan Nagari Kurai V Jorong selanjutnya. Dengan berkembangnya perdagangan komoditi kopi ini menjadikan Nagari Kurai sebagai daerah transit sekaligus daerah pengumpul komoditi kopi daerah sekitarnya sebelum dipasarkan ke pelabuhan pantai Barat ataupun ke pantai Timur. Daerah-daerah yang menjadi jalur perdagangan komoditi kopi ini secara tidak langsung berkembang menjadi daerah perdagangan.
Perdagangan komoditi kopi ini mengakibatkan Luhak Agam, terutama sekali Nagari Kurai (Bukittinggi) menjadi semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang. Dengan adanya kegiatan perdagangan ini membentuk suatu wadah transaksi dan aktifitas pasar yang terbentuk dengan sendirinya. Trides (1999), menyebutkan bahwa aktifitas pasar yang terbentuk dengan sendirinya ini yang berada di Padang Gamuak (sekarang jalan Padang Gamuak) dan Gurun Panjang (jalan Hamka sekarang) dinamakan dengan ‘Pakan Kurai’ (daerah ini sekarang dinamakan dengan Kelurahan Pakan Kurai). Di sini munculnya pemberhentian sementara (transit) para kuli dan buruh angkat yang membawa komoditi kopi dari daerah penghasil kopi utama pedalaman Agam Tuo, yaitu dari lereng Gunung Merapi (Nagari Canduang, Lasi, IV Angkat, Baso dan Kamang).
Para pedagang kopi dengan kuli angkatnya, setelah transit di pakan Kurai, melanjutkan perjalanan dagangnya menuju daerah pelabuhan di pantai timur dan barat Sumatera. Dalam jalur perdagangannya (ke pantai barat) melewati daerah Pandai Sikek, lereng-lereng Gunung Singgalang, Mudik Padang menuju Gunung Tandikek, dan dari sini para pedagang ada yang menuju Bandar Pariaman dan ada sebagian yang menuju Bandar Naras. Dengan singgahnya para pedagang ini di Pakan Kurai, telah membuka mata pencaharian baru bagi penduduk Kurai, yang sebelumnya bergantung kepada pertanian, seperti mulai munculnya ‘lepau-lepau’ kecil yang menjual makanan dan minuman (Trides, 1999). Meningkatnya permintaan kopi untuk ekspor dengan harga yang semakin menjanjikan, menyebabkan Pakan Kurai yang berada di tengah-tengah perkampungan semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang perantara dan buruh angkat kopi.

c. Terbentuknya Pakan Kurai (Pasar Kurai)

Melihat perkembangan aktifitas pasar yang berkembang di Gurun Panjang dan Padang Gamuak yang merupakan daerah permukiman penduduk, maka para penghulu Kurai, Pangka Tuo Nagari dari jorong Guguak Panjang dan Aur Birugo, bermufakat untuk mencarikan tempat yang cukup luas di luar kampung, yaitu untuk tempat beristirahat bagi pedagang dan tujkang angkat kopi, serta tempat berjualan makanan dan minuman bagi anak Nagari Kurai V Jorong (Trides, 1999). Berdasarkan rapat para ninik mamak Kurai yang diadakan di bawah pohon beringin besar di Bukit Kubangan Kabau pada 1820, maka disepakatilah di bukit ini dijadikan tempat berkumpul anak nagari untuk ‘menukar’ atau berjual beli (Mangiang, 1988 dalam Sati, 1990). Bukit ini dinamakan dengan Bukit Tertinggi atau Bukittinggi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu pasar, sehingga akhirnya diberikan nama Pasar Kurai (pasar orang Kurai) atau Pasar Bukittinggi.
Dengan ditetapkannya Pasar Kurai sebagai tempat berkumpul anak nagari untuk berjual beli, menunjukkan bahwa terbentuknya Pasar Kurai sebagai salah satu perangkat Nagari Kurai yang muncul dari suatu kekuatan ekonomi atau perdagangan komoditi kopi yang sedang berkembang di Minangkabau, terutama sekali di Luhak Agam.
Penempatan Pasar Kurai atau disepakatinya pasar di atas Bukit Kubangan Kabau memberikan pengaruh terhadap tatanan spasial nagari yang ada. Pada awalnya orientasi kegiatan nagari yang terpusat pada daerah Balai Adat dan Lapangan Kurai ditarik keluar dari daerah pemukiman penduduk, yaitu di Bukit Kubangan Kabau.
Penempatan pasar yang jauh dari perkampungan penduduk ini, lebih kepada pertimbangan keamanan, karena seringnya terjadi perkelahian. Penyebab perkelahian tidak saja disebabkan oleh perselisihan transaksi dagang, tetapi juga disebabkan oleh permainan adu ayam yang sering memicu perselisihan. Pasar bukan saja tempat berkumpul dan tempat masyarakat menjalankan kewajiban sosialnya, tetapi juga sebagai tempat untuk mencari keramaian (Dobbin, 1992).
Pasar merupakan elemen yang penting dalam perkembangan nagari, karena posisi pasar ini berkembang sesuai dengan perubahan nagari. Pada kota-kota raja Melayu (Perret, 1999), tempat-tempat umum seperti pasar (peken) dan gelanggang ditempatkan di luar kota, kebanyakan terletak di antara sistem pertahanan utama dan sistem pertahanan komplek istana. Di Minangkabau (Dobbin, 1992), pasar didirikan sejauh mungkin dari desa. Lokasi pasar terletak di daerah perpindahan antara satu zone ekologi dengan yang lainnya. Pasar-pasar tersebut terletak di perbatasan antara alam daratan dan alam perbukitan, antara dataran tinggi dan pantai barat. Lokasi pasar-pasar utama diletakkan diperbatasan zone ekonomi, namun ada juga beberapa pasar yang besar dan terkenal terletak tepat dipusat daerah pertanian yang penting, seperti pasar di Padang Luar, yang terletak pada pertemuan sirkulasi daerah pertanian dari arah timur dan barat Luhak Agam.(Bukittinggi)








 . Di samping itu, melalui perdagangan

1 komentar:

  1. nice share.
    untuk paket wisata dengan rute: bukittinggi - pagaruyung - sawah lunto silahkan klik di sini

    BalasHapus