Ira Oemar
11 November 2011
Kemarin, bertepatan dengan peringatan hari
Pahlawan, ada sekelompok anak muda yang berpakaian putih-putih – ala
anggota Paskibra – lengkap dengan mobil nyentriknya, tampil di acara
pagi sebuah TV swasta. Saat ditanya apa tujuan mereka, perwakilannya
menjawab bahwa mereka sedang memperjuangkan gelar “pahlawan” bagi
almarhum Soeharto, mantan Presiden ke-2 RI. Ini mengingatkan saya pada 3
tahun lalu, saat Partai Golkar ngotot mengusulkan Haji Muhammad
Soeharto untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Keriuhan ini
ditambah lagi dengan iklan PKS menyambut hari pahlawan, yang menampilkan
foto Soeharto sejajar dengan para Pahlawan Nasional lainnya yang telah
diakui kepahlawanannya. Kontroversi menyeruak saat itu. Berbagai debat
pro dan kontra digelar, meski akhirnya sampai tanggal 10 Nopember 2008,
nama H.M. Soeharto tetap tak tercantum dalam Keputusan Presiden RI yang
menetapkan nama-nama Pahlawan Nasional.
Kenapa Soeharto layak dijadikan Pahlawan Nasional?
Para pendukung ide ini umumnya menyuguhkan bukti-bukti keberhasilan
pembangunan semasa Soeharto berkuasa. Memang, tak bisa kita pungkiri
bahwa selama memimpin negara ini, Soeharto membawa banyak kemajuan di
bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan serta pangan dan kesehatan. Di
jaman Soeharto lah Indonesia berhasil swasembada beras dan bahkan
mendapatkan penghargaan dari FAO, Organisasi Pangan Dunia di bawah PBB.
Keberhasilan lainnya adalah di sektor kependudukan. Dulu orang Indonesia
pada umumnya punya keyakinan “banyak anak, banyak rejeki” dan belum
puas jika punya anak dengan jenis kelamin yang sama. Di tengah
puritanisme masyarakat seperti itu, Soeharto memasyarakatkan program KB
dengan slogan “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”. Program ini
boleh dibilang berhasil cukup signifikan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk. Di akhir dekade ‘80-an, banyak pasutri yang mulai sadar bahwa
banyak anak banyak rejeki yang harus dicari. Pemasyarakatan Posyandu dan
Dasa Wisma serta gerakan PKK juga membawa dampak positif di kalangan
kaum Ibu. Mereka jadi lebih sadar kebersihan, kesehatan dan ketrampilan
tata laksana rumah tangga. Setidaknya hal ini bisa membantu menekan
angka kematian Ibu, bayi dan balita. Keberhasilan Posyandu meningkatkan
kesadaran kaum Ibu untuk membawa bayi dan balita mereka antri ikut
immunisasi massal.
Semua fakta ini adalah jejak positif warisan
pemerintahan Soeharto. Tapi bagi saya, itu lebih merupakan kesuksesan
atau keberhasilan seorang pemimpin negara. Bukankah untuk semua
prestasinya itu Soeharto sudah mendapatkan berbagai pernghargaan dari
dalam negeri maupun dari dunia internasional? Apakah setiap seorang
pemimpin negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya
lantas dianggap pahlawan? Bukankah memang itu sejatinya tugas dan
kewajiban seoang kepala negara sekaligus pemimpin Pemerintahan :
mensejahterakan rakyatnya dan menjaga pertahanan dan keamanan negaranya.
Justru jika gagal, maka seorang pemimpin negara harus legowo untuk
mundur. Kalo berhasil, bolehlah dipilih kembali. Lagi pula, kenapa
Soeharto bisa seberhasil itu mengelola negara? Mari kita telaah
alasannya.
Setelah berhasil mereduksi jumlah parpol hanya
menjadi 3 saja dan membonsai 2 parpol lain, serta menekankan wajibnya
monoloyalitas bagi PNS, Pegawai BUMN dan keluarga besar ABRI, sangatlah
mudah bagi Soeharto untuk memenangkan Golkar pada 6 kali Pemilu sejak
1971. Jadilah hajatan akbar lima tahunan : Sidang Umum MPR setiap 1 – 11
Maret sebagai ritual pengukuhan kembali Soeharto menjadi Presiden RI
secara aklamasi. Dengan adanya jaminan kesinambungan Pemerintahannya,
Soeharto bisa menyusun program pembangunan yang disebutnya Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahunan), mulai Pelita I sampai Pelita V.
Tiap kali usai dilantik, Soeharto bisa dengan mudah
memilih orang-orang kepercayaannya menjadi pembantunya di Kabinet
Pembangunan. Tak ada parpol lain yang merecoki minta jatah kursi Mentri.
Di kalangan internal Golkar dan ABRI juga tak pernah ada rivalitas
untuk berebut jabatan. Semua bergulir dan seolah tahu diri giliran siapa
yang akan diangkat menjadi apa. Hampir semua Gubernur dan Bupati/
Walikota diisi oleh ABRI, baik aktif maupun purnawirawan. Dwi fungsi
ABRI melegalkan semua itu. Dengan mendudukkan para mantan Pangdam jadi
Gubernur, dan para Letkol / Kolonel jadi Bupati dan Walikota, Soeharto
seolah hendak memstikan keamanan teritorial daerah tersebut dapat
dikendalikan oleh kepala daerah. Setiap kali muncul gesekan di akar
rumput, dengan segera diberangus. Setiap terdengar issu gerakan yang
menyoal kebijakan pemerintahan, langsung dibungkam, kalau perlu
penggagasnya “dihilangkan”. Media massa yang nakal dalam memuat berita,
pembreidelan sudah menanti. Ada koran Sinar Harapan, ada majalah Tempo,
dan masih banyak lainnya yang pernah jadi korban pencabutan SIUP.
Nah, dengan kekuasaan penuh terpusat di tangannya,
tentu mudah bagi Soeharto untuk berprestasi dan memastikan pembangunan
berjalan sesuai dengan rencananya. Soeharto juga menjalin persahabatan
dengan para Taipan yang memiliki gurita bisnis keluarga. Mereka inilah
yang pada akhir dekade ’80-an disebut “konglomerat”. Simbiosis
mutualisme terjalin dengan baik antara Soeharto dan konglomerat
kroni-kroninya. Tentu, konglomerasi bisnis anak-anaknya pun ikut maju
pesat. Dengan berbagai privelege dan proteksi, anak-anaknya bisa
menguasai bisnis. Kita tentu masih ingat akan BPPC (Badan Pengelola
Perdagangan Cengkeh) yang menyengsarakan petani cengkeh dan memakmurkan
Tommy. Juga tentang Kepres Mobnas yang menjadikan Tommy sebagai pemilik
mobil Timor yang diklaim sebagai mobil nasional. Padahal sebenarnya
hanya mobil asli Korea yang masuk k Indonesia tanpa bea masuk dan bebas
pajak. Masih banyak lagi kebijakan sektor perekonomian yang hanya
menguntungkan segelintir pengusaha dan keluarga Soeharto.
Di akhir masa jabatannya, toh rakyat pula yang
harus membayar kemajuan ekonomi semu itu. Perekonomian kita yang
seolah-olah tampak kokoh dan kuat, ternyata rapuh hanya diguncang oleh
anjloknya nilai tukar sejak pertengahan tahun 1997. Krisis moneter yang
melanda Asia, benar-benar meluluhlantakkan perekonomian Indonesia yang
dibangun atas hutang dalam mata uang asing. Di tengah kepanikan,
Soeharto kemudian justru menyerah kepada IMF, dewa penyelamat yang
membawa segebok uang sambil memaksakan setumpuk regulasi keuangan dan
perbankan yang harus dipatuhi Indonesia. Ini bentuk penjajahan ekonomi
abad modern. Tapi Soeharto sudah tak berdaya, sembari Direktur IMF
Michael Chamdesus melipat kedua tangannya dengan senyum meremehkan,
Soeharto terpaksa meneken perjanjian tunduk pada IMF.
Tapi ada lagi warisan lain Soeharto, yang kini jadi
bara api yang memanggang rakyat Papua. Apalagi kalo bukan kontrak karya
Freeport. Kalo menengok kembali sejarah masuknya PT. Freeport Mc. Moran
menjadi penguasa gunung emas terbesar di dunia, kita bisa temui banyak
fakta yang semuanya bermula dari era Pemerintahan Soeharto. Ketika pada
tahun 1963 terjadi Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak
Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalihkannya ke Indonesia,
rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijakan Presiden Soekarno.
Lalu seiring dengan peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966, terbentuklah pemerintahan baru
yang mendorong investasi sektor swasta. Saat inilah Freeport diundang
ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg.
Tahun berikutnya – 1967, hanya selang setahun Soeharto berkuasa –
ditandatanganilah Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PT.
Freeport Indonesia sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di
atas wilayah 10 km persegi. Tambang emas dan tembaga kita TERGADAI!!!
Inilah bayaran paling mahal yang harus ditebus Soeharto kepada Amerika,
atas jasanya “membantu” memberangus partai komunis dan gerakannya, yang
telah membawa Soeharto ke puncak kursi kekuasaan.
Pada tahun 1985 tambahan cadangan tembaga bawah
tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT. Selanjutnya, pada 1987
setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata
meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada
tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik. Dan puncaknya
pada tahun 1988 dengan ditemukannnya cadangan Grasberg, melipatgandakan
cadangan total menjadi 200 juta ton metrik. Pada tahun 1989 perluasan
hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga
52.000 selesai. Pemerintah Indonesia – dibawah kepemimpinan Soeharto –
mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000
hektar.
Anehnya – atau bahkan gilanya – di saat kajian atas
hasil tambang emas dan tembaga Freeport yang begitu menggiurkan
prospeknya, Soeharto bukannya mencoba merenegosiasi kontrak karya agar
bagian yang diperoleh Indonesia makin besar, dan bahkan seharusnya
kontrak karya yang akan berakhir pada 1997 tidak diperpanjang lagi, agar
Indonesia bisa mengelola sendiri kekayaan alamnya sesuai amanat UUD
1945. Hingga akhir tahun 1991, total cadangan berjumlah hampir 770 juta
ton metrik. Tapi yang dilakukan Soeharto justru sebaliknya : pada 1991
dilakukan penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30
tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama
Pemerintah Indonesia. Praktis PT. Freeport berkuasa atas gunus emas kita
sampai 2041. Lagi-lagi kekayaan bumi Papua digadaikan! Kali ini lebih
panjang masanya.
Kontrak karya pertama yang dilakukan pada tahun
1967, mengacu pada UU Penanaman Modal Asing dan bukan berdasarkan UU
Pertambangan. Hal itulah yang menjadikan porsi bagi hasil untuk
pemerintah tidak seberapa. Sialnya, kontrak karya yang cacat itu, justru
dilanjutkan lagi pada 1991. Ekonom Kwik Kian Gie pernah mempertanyakan
besarnya setoran bagi hasil untuk pemerintah RI dari aktivitas
pertambangan Freeport. Kwik mengacu pada pola bagi hasil 85%:15% yang
biasanya diterapkan pada industri migas. Sedangkan dari penambangan
Freeport kita hanya mendapat 3% untuk emas dan 5% untuk tembaga. Dan
kita rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua, cuma bisa gigit jari,
melongo, saat beratus-ratus truk trailer mengangkut emas keluar dari
tanah asalanya.
Semua kemewahan dan privelege atas hak pengelolaan
tambang yang diperoleh PT. Freeport, tentu bukan tanpa imbalan. Di situs
Wikipedia, ditulis “Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett – seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini – dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto,
dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport.
Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah
anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.”
Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya
sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis
yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai
saling terkait. Tidak ada investigasi resmi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI. Pada sejumlah kasus, kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard – yang pernah bekerja untuk Freeport – dan Abigail Abrash – seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat – memperkirakan sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Semua itu terjadi di era Pemerintahan Soeharto, dan dampaknya sampai
sekarang tak mampu ditanggulangi oleh Presiden-Presiden pasca Soeharto.
Sebab masalah yang ditinggalkan memang tidak mudah. Tanah Papu sudah
terlanjur tergadai, lengkap dengan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Rakyat Papua sudah lama tertindas dan dijajah di tanah
kelahiran mereka sendiri. Mereka mengalami pemiskinan dan pembodohan –
karena dibiarkan begitu saja tanpa pembangunan yang memadai – sehingga
mereka menjadi buruh kasar di rumah sendiri.
Lalu…, dengan fakta-fakta seperti itu,
pantaskah seseorang yang telah menggadaikan kekayaan tanah Papua
dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional? Tegakah kita melihat
saudara-saudara kita di Papua makin geram, seolah kita mengucurkan garam
pada luka mereka yang menganga dan berdarah terus selama
bertahun-tahun? Semoga saja siapapun Presiden RI kini dan kelak,
berpikir 10.000 x sebelum menobatkan Soeharto jadi Pahlawan Nasional.
Kalau Golkar dan PKS tetap ingin menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional,
silakan saja, mungkin Soeharto memang Pahlawan bagi mereka. Tapi jangan
paksa seluruh rakyat Indonesia – termasuk Papua – untuk mengamini
kepahlawanan Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar