Rabu, 21 Maret 2012

Gelar Kepahlawanan untuk Penggadai Negeri kepada Freeport. Pantaskah?!


Ira Oemar 
11 November 2011
 
Kemarin, bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan, ada sekelompok anak muda yang berpakaian putih-putih – ala anggota Paskibra – lengkap dengan mobil nyentriknya, tampil di acara pagi sebuah TV swasta. Saat ditanya apa tujuan mereka, perwakilannya menjawab bahwa mereka sedang memperjuangkan gelar “pahlawan” bagi almarhum Soeharto, mantan Presiden ke-2 RI. Ini mengingatkan saya pada 3 tahun lalu, saat Partai Golkar ngotot mengusulkan Haji Muhammad Soeharto untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Keriuhan ini ditambah lagi dengan iklan PKS menyambut hari pahlawan, yang menampilkan foto Soeharto sejajar dengan para Pahlawan Nasional lainnya yang telah diakui kepahlawanannya. Kontroversi menyeruak saat itu. Berbagai debat pro dan kontra digelar, meski akhirnya sampai tanggal 10 Nopember 2008, nama H.M. Soeharto tetap tak tercantum dalam Keputusan Presiden RI yang menetapkan nama-nama Pahlawan Nasional.
Kenapa Soeharto layak dijadikan Pahlawan Nasional? Para pendukung ide ini umumnya menyuguhkan bukti-bukti keberhasilan pembangunan semasa Soeharto berkuasa. Memang, tak bisa kita pungkiri bahwa selama memimpin negara ini, Soeharto membawa banyak kemajuan di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan serta pangan dan kesehatan. Di jaman Soeharto lah Indonesia berhasil swasembada beras dan bahkan mendapatkan penghargaan dari FAO, Organisasi Pangan Dunia di bawah PBB. Keberhasilan lainnya adalah di sektor kependudukan. Dulu orang Indonesia pada umumnya punya keyakinan “banyak anak, banyak rejeki” dan belum puas jika punya anak dengan jenis kelamin yang sama. Di tengah puritanisme masyarakat seperti itu, Soeharto memasyarakatkan program KB dengan slogan “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”. Program ini boleh dibilang berhasil cukup signifikan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Di akhir dekade ‘80-an, banyak pasutri yang mulai sadar bahwa banyak anak banyak rejeki yang harus dicari. Pemasyarakatan Posyandu dan Dasa Wisma serta gerakan PKK juga membawa dampak positif di kalangan kaum Ibu. Mereka jadi lebih sadar kebersihan, kesehatan dan ketrampilan tata laksana rumah tangga. Setidaknya hal ini bisa membantu menekan angka kematian Ibu, bayi dan balita. Keberhasilan Posyandu meningkatkan kesadaran kaum Ibu untuk membawa bayi dan balita mereka antri ikut immunisasi massal.
Semua fakta ini adalah jejak positif warisan pemerintahan Soeharto. Tapi bagi saya, itu lebih merupakan kesuksesan atau keberhasilan seorang pemimpin negara. Bukankah untuk semua prestasinya itu Soeharto sudah mendapatkan berbagai pernghargaan dari dalam negeri maupun dari dunia internasional? Apakah setiap seorang pemimpin negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lantas dianggap pahlawan? Bukankah memang itu sejatinya tugas dan kewajiban seoang kepala negara sekaligus pemimpin Pemerintahan : mensejahterakan rakyatnya dan menjaga pertahanan dan keamanan negaranya. Justru jika gagal, maka seorang pemimpin negara harus legowo untuk mundur. Kalo berhasil, bolehlah dipilih kembali. Lagi pula, kenapa Soeharto bisa seberhasil itu mengelola negara? Mari kita telaah alasannya.
Setelah berhasil mereduksi jumlah parpol hanya menjadi 3 saja dan membonsai 2 parpol lain, serta menekankan wajibnya monoloyalitas bagi PNS, Pegawai BUMN dan keluarga besar ABRI, sangatlah mudah bagi Soeharto untuk memenangkan Golkar pada 6 kali Pemilu sejak 1971. Jadilah hajatan akbar lima tahunan : Sidang Umum MPR setiap 1 – 11 Maret sebagai ritual pengukuhan kembali Soeharto menjadi Presiden RI secara aklamasi. Dengan adanya jaminan kesinambungan Pemerintahannya, Soeharto bisa menyusun program pembangunan yang disebutnya Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahunan), mulai Pelita I sampai Pelita V.
Tiap kali usai dilantik, Soeharto bisa dengan mudah memilih orang-orang kepercayaannya menjadi pembantunya di Kabinet Pembangunan. Tak ada parpol lain yang merecoki minta jatah kursi Mentri. Di kalangan internal Golkar dan ABRI juga tak pernah ada rivalitas untuk berebut jabatan. Semua bergulir dan seolah tahu diri giliran siapa yang akan diangkat menjadi apa. Hampir semua Gubernur dan Bupati/ Walikota diisi oleh ABRI, baik aktif maupun purnawirawan. Dwi fungsi ABRI melegalkan semua itu. Dengan mendudukkan para mantan Pangdam jadi Gubernur, dan para Letkol / Kolonel jadi Bupati dan Walikota, Soeharto seolah hendak memstikan keamanan teritorial daerah tersebut dapat dikendalikan oleh kepala daerah. Setiap kali muncul gesekan di akar rumput, dengan segera diberangus. Setiap terdengar issu gerakan yang menyoal kebijakan pemerintahan, langsung dibungkam, kalau perlu penggagasnya “dihilangkan”. Media massa yang nakal dalam memuat berita, pembreidelan sudah menanti. Ada koran Sinar Harapan, ada majalah Tempo, dan masih banyak lainnya yang pernah jadi korban pencabutan SIUP.
Nah, dengan kekuasaan penuh terpusat di tangannya, tentu mudah bagi Soeharto untuk berprestasi dan memastikan pembangunan berjalan sesuai dengan rencananya. Soeharto juga menjalin persahabatan dengan para Taipan yang memiliki gurita bisnis keluarga. Mereka inilah yang pada akhir dekade ’80-an disebut “konglomerat”. Simbiosis mutualisme terjalin dengan baik antara Soeharto dan konglomerat kroni-kroninya. Tentu, konglomerasi bisnis anak-anaknya pun ikut maju pesat. Dengan berbagai privelege dan proteksi, anak-anaknya bisa menguasai bisnis. Kita tentu masih ingat akan BPPC (Badan Pengelola Perdagangan Cengkeh) yang menyengsarakan petani cengkeh dan memakmurkan Tommy. Juga tentang Kepres Mobnas yang menjadikan Tommy sebagai pemilik mobil Timor yang diklaim sebagai mobil nasional. Padahal sebenarnya hanya mobil asli Korea yang masuk k Indonesia tanpa bea masuk dan bebas pajak. Masih banyak lagi kebijakan sektor perekonomian yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan keluarga Soeharto.
Di akhir masa jabatannya, toh rakyat pula yang harus membayar kemajuan ekonomi semu itu. Perekonomian kita yang seolah-olah tampak kokoh dan kuat, ternyata rapuh hanya diguncang oleh anjloknya nilai tukar sejak pertengahan tahun 1997. Krisis moneter yang melanda Asia, benar-benar meluluhlantakkan perekonomian Indonesia yang dibangun atas hutang dalam mata uang asing. Di tengah kepanikan, Soeharto kemudian justru menyerah kepada IMF, dewa penyelamat yang membawa segebok uang sambil memaksakan setumpuk regulasi keuangan dan perbankan yang harus dipatuhi Indonesia. Ini bentuk penjajahan ekonomi abad modern. Tapi Soeharto sudah tak berdaya, sembari Direktur IMF Michael Chamdesus melipat kedua tangannya dengan senyum meremehkan, Soeharto terpaksa meneken perjanjian tunduk pada IMF.
Tapi ada lagi warisan lain Soeharto, yang kini jadi bara api yang memanggang rakyat Papua. Apalagi kalo bukan kontrak karya Freeport. Kalo menengok kembali sejarah masuknya PT. Freeport Mc. Moran menjadi penguasa gunung emas terbesar di dunia, kita bisa temui banyak fakta yang semuanya bermula dari era Pemerintahan Soeharto. Ketika pada tahun 1963 terjadi Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalihkannya ke Indonesia, rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijakan Presiden Soekarno. Lalu seiring dengan peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966, terbentuklah pemerintahan baru yang mendorong investasi sektor swasta. Saat inilah Freeport diundang ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg. Tahun berikutnya – 1967, hanya selang setahun Soeharto berkuasa – ditandatanganilah Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PT. Freeport Indonesia sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi. Tambang emas dan tembaga kita TERGADAI!!! Inilah bayaran paling mahal yang harus ditebus Soeharto kepada Amerika, atas jasanya “membantu” memberangus partai komunis dan gerakannya, yang telah membawa Soeharto ke puncak kursi kekuasaan.
Pada tahun 1985 tambahan cadangan tembaga bawah tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT. Selanjutnya, pada 1987 setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik. Dan puncaknya pada tahun 1988 dengan ditemukannnya cadangan Grasberg, melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik. Pada tahun 1989 perluasan hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga 52.000 selesai. Pemerintah Indonesia – dibawah kepemimpinan Soeharto – mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000 hektar.
Anehnya – atau bahkan gilanya – di saat kajian atas hasil tambang emas dan tembaga Freeport yang begitu menggiurkan prospeknya, Soeharto bukannya mencoba merenegosiasi kontrak karya agar bagian yang diperoleh Indonesia makin besar, dan bahkan seharusnya kontrak karya yang akan berakhir pada 1997 tidak diperpanjang lagi, agar Indonesia bisa mengelola sendiri kekayaan alamnya sesuai amanat UUD 1945. Hingga akhir tahun 1991, total cadangan berjumlah hampir 770 juta ton metrik. Tapi yang dilakukan Soeharto justru sebaliknya : pada 1991 dilakukan penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama Pemerintah Indonesia. Praktis PT. Freeport berkuasa atas gunus emas kita sampai 2041. Lagi-lagi kekayaan bumi Papua digadaikan! Kali ini lebih panjang masanya.
Kontrak karya pertama yang dilakukan pada tahun 1967, mengacu pada UU Penanaman Modal Asing dan bukan berdasarkan UU Pertambangan. Hal itulah yang menjadikan porsi bagi hasil untuk pemerintah tidak seberapa. Sialnya, kontrak karya yang cacat itu, justru dilanjutkan lagi pada 1991. Ekonom Kwik Kian Gie pernah mempertanyakan besarnya setoran bagi hasil untuk pemerintah RI dari aktivitas pertambangan Freeport. Kwik  mengacu pada pola bagi hasil 85%:15% yang biasanya diterapkan pada industri migas. Sedangkan dari penambangan Freeport kita hanya mendapat 3% untuk emas dan 5% untuk tembaga. Dan kita rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua, cuma bisa gigit jari, melongo, saat beratus-ratus truk trailer mengangkut emas keluar dari tanah asalanya.
Semua kemewahan dan privelege atas hak pengelolaan tambang yang diperoleh PT. Freeport, tentu bukan tanpa imbalan. Di situs Wikipedia, ditulis “Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffettseorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini – dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait. Tidak ada investigasi resmi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI. Pada sejumlah kasus, kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard – yang pernah bekerja untuk Freeport – dan Abigail Abrash – seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat memperkirakan sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun19751997 di daerah tambang dan sekitarnya. Semua itu terjadi di era Pemerintahan Soeharto, dan dampaknya sampai sekarang tak mampu ditanggulangi oleh Presiden-Presiden pasca Soeharto. Sebab masalah yang ditinggalkan memang tidak mudah. Tanah Papu sudah terlanjur tergadai, lengkap dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Rakyat Papua sudah lama tertindas dan dijajah di tanah kelahiran mereka sendiri. Mereka mengalami pemiskinan dan pembodohan – karena dibiarkan begitu saja tanpa pembangunan yang memadai – sehingga mereka menjadi buruh kasar di rumah sendiri.
Lalu…, dengan fakta-fakta seperti itu, pantaskah seseorang yang telah menggadaikan kekayaan tanah Papua dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional? Tegakah kita melihat saudara-saudara kita di Papua makin geram, seolah kita mengucurkan garam pada luka mereka yang menganga dan berdarah terus selama bertahun-tahun? Semoga saja siapapun Presiden RI kini dan kelak, berpikir 10.000 x sebelum menobatkan Soeharto jadi Pahlawan Nasional. Kalau Golkar dan PKS tetap ingin menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional, silakan saja, mungkin Soeharto memang Pahlawan bagi mereka. Tapi jangan paksa seluruh rakyat Indonesia – termasuk Papua – untuk mengamini kepahlawanan Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar