Mei 25, 2009 by A Nizami
Saat ini ramai diberitakan bahwa Capres “X” atau Cawapres “Y” adalah Neoliberalis atau Antek Asing sementara pihak yang tertuduh atau simpatisannya membelanya. Istilah “Neoliberalis” jadi populer sekarang.
Saat ini ramai diberitakan bahwa Capres “X” atau Cawapres “Y” adalah Neoliberalis atau Antek Asing sementara pihak yang tertuduh atau simpatisannya membelanya. Istilah “Neoliberalis” jadi populer sekarang.
Tapi masih banyak orang yang tidak
tahu “Apa sih Neoliberalis itu?” Oleh karena itu saya akan mencoba
menjelaskannya sesederhana mungkin sehingga orang awam bisa memahaminya.
Neoliberalisme
adalah paham Ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis Perdagangan
Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN,
Deregulasi/Penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran
negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh
IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan
untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan
sekutunya/MNC.
Sistem Ekonomi Neoliberalisme
menghilangkan peran negara sama sekali kecuali sebagai “regulator” atau
pemberi “stimulus” (baca: uang negara) untuk menolong perusahaan swasta
yang bangkrut. Sebagai contoh, pemerintah AS harus mengeluarkan
“stimulus” sebesar US$ 800 milyar (Rp 9.600 trilyun) sementara Indonesia
pada krisis monter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 trilyun
dan BLBI senilai Rp 600 trilyun. Melebihi APBN saat itu. Sistem ini
berlawanan 100% dengan Sistem Komunis di mana negara justru menguasai
nyaris 100% usaha yang ada.
Di tengah-tengahnya ada Ekonomi
Kerakyatan seperti tercantum di UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa
kebutuhan rakyat seperti Sembako, Energi, dan Air harus dikuasai negara.
Begitu pula kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Untuk itu dibuat berbagai BUMN seperti Pertamina,
PAM, PLN, dan sebagainya sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan harga
yang terjangkau.
Selain itu ada juga Sistem Ekonomi
Islam yang hampir mirip dengan Ekonomi Rakyat di mana padang (tanah
luas), api (energi), dan air adalah “milik bersama.” Nabi Muhammad juga
memerintahkan sahabat untuk membeli sumur air milik Yahudi sehingga air
yang sebelumnya jadi komoditas untuk mendapat keuntungan dibagikan
gratis guna memenuhi kebutuhan rakyat.
Neoliberalisme disebut juga dengan Globalisasi (Globalization). Neoliberalis adalah orang yang menganut paham Neoliberalisme.
Lembaga Utama yang menjalankan
Neoliberalisme adalah IMF, World Bank, dan WTO. Di bawahnya ada lembaga
lain seperti ADB. Dengan belenggu hutang (misalnya hutang Indonesia yang
meningkat dari Rp 1.200 trilyun 20 tahun 2004 dan bengkak jadi Rp 1.600
trilyun di 2009) lembaga tersebut memaksakan program Neoliberalisme ke
seluruh dunia. Pemerintah AS (USAID) bertindak sebagai Project Manager
yang kerap campur tangan terhadap pembuatan UU di berbagai negara untuk
memungkinkan neoliberalisme berjalan (misalnya di negeri kita UU Migas).
Mari kita bahas satu per satu agenda utama Neoliberalisme.
Privatisasi/Penjualan BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Neoliberalis menghendaki negara tidak
berbisnis meski bisnis tersebut menyangkut kekayaan alam negara dan
juga menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Oleh karena itu semua BUMN
harus dijual atau diprivatisasi ke pihak swasta. Karena swasta Nasional
keuangannya terbatas, umumnya yang membelinya adalah pihak asing
seperti Indosat dan Telkom yang dijual ke perusahaan asing seperti STT
dan Singtel yang ternyata anak perusahaan dari Temasek (BUMN Singapura).
PAM (Perusahaan Air Minum) yang
dibeli pihak asing sehingga jadi Palyja (Lyonnaise, Perancis) dan TPJ
(Thames PAM Jaya yang kemudian dibeli oleh AETRA). Privatisasi ini
akhirnya menyebabkan tarif PAM naik berkali-kali hingga sekarang 1 m3
jadi sekitar Rp 7.000.
Yang berbahaya adalah ketika
perusahaan swasta/asing itu bergerak di bidang pertambangan seperti
minyak, gas, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, sehingga kekayaan
alam Indonesia bukannya dinikmati oleh rakyat Indonesia justru masuk ke
kantong asing. Inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Menurut
PENA, Rp 2.000 trilyun setiap tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia
masuk ke tangan asing. Padahal APBN kita saat itu hanya sekitar Rp 1.000
trilyun sementara hutang luar negeri Rp 1.600 trilyun.
Sebagai contoh, Freeport yang menguasai
lahan tambang di Papua di mana satu gunung Grassberg saja punya deposit
emas sebanyak US$ 50 milyar (Rp 500 trilyun), ternyata hanya memberi
royalti ke Indonesia 1% saja! Jadi kalau Freeport dapat Rp 495 trilyun,
Indonesia cuma dapat Rp 5 trilyun. Bagaimana Indonesia bisa kaya?
Jika Privatisasi khususnya yang
menyangkut kekayaan alam bisa dihentikan, maka hutang luar negeri bisa
dilunasi dalam waktu kurang dari setahun. Para pejabat dan pegawai
negeri bisa hidup senang dengan anggaran Rp 1000 trilyun/tahun dan
rakyat bisa makmur dengan rp 2.000 trilyun/tahun yang saat ini justru
dinikmati asing.
Prinsip Neoliberalisme di atas jelas
bertentangan dengan UUD 45 (yang saat ini diamandemen) dan juga ajaran
Islam. Meski Pancasila dan Islam tidak menganut paham komunisme di mana
semua diatur negara, tapi untuk hal-hal yang penting dan menguasai
kebutuhan orang banyak serta kekayaan alam itu adalah milik bersama.
Bukan segelintir pemilik perusahaan/asing.
Kaum muslimin berserikat (memiliki
bersama) dalam tiga hal, yaitu air, rerumputan (di padang rumput yang
tidak bertuan), dan api (migas/energi). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat UUD 45 Pasal 33 ayat 3
Lihat privatisasi BUMN yang telah terjadi:
Yang parah adalah Bank Indonesia (BI) yang merupakan Bank Sentral
Indonesia yang memiliki otoritas membuat uang diswastanisasi dan
akhirnya dikontrol oleh IMF lewat LOI IMF yang terpaksa ditanda-tangani
Soeharto. Pemerintah yang telah dipilih secara resmi oleh rakyat tidak
berdaulat lagi atas BI. Sebagai gantinya justru Dinasti Rothschild via
IMF yang menguasai BI.
Dengan jumawa Amschel Rothschild berkata di Frankfurt, “Let me issue and
control a nation’s money, and I care not who writes the laws.” “Biarkan
saya mengeluarkan dan mengawasi uang satu negara, dan saya tidak akan
peduli siapa yang menulis hukumnya.”
Pencabutan Subsidi Barang
Menurut kaum Neoliberalis, subsidi
barang adalah penyakit. Oleh karena itu subsidi BBM, angkutan umum, air,
dan sebagainya dihapuskan. Harga barang mengikuti harga pasar dunia
sehingga harga barang terus meroket melebihi kenaikan penghasilan
rakyat.
Sebagai
contoh harga Premium yang tahun 2004 masih Rp 1.800/liter naik hingga
Rp 6.000/liter. Sementara harga Pertamax betul-betul mengikuti harga
minyak dunia sehingga harganya sama dengan di AS. Padahal jika garis
kemiskinan di Indonesia hanya Rp 182 ribu/bulan, di AS sekitar Rp 10,4
juta/bulan. Di AS, seorang pengantar Pizza bisa mendapat Rp 14
juta/bulan belum termasuk tip. Sementara di Indonesia, seorang manager
belum tentu dapat gaji rp 2 juta/bulan.
Jadi kebijakan kaum Neoliberalis yang
memaksakan harga barang mengikuti harga pasar/dunia betul-betul
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Barang | Harga 2005 | Harga 2008 | Kenaikan |
Premium | 1.810 | 6.000 | 231% |
Beras | 3.000 | 6.000 | 100% |
Angkutan Umum | 1.000 | 2.500 | 150% |
Minyak Goreng | 4.500 | 13.000 | 189% |
UMR | 635.000 | 972.000 | 53% |
Sebagai kompensasi atas berbagai
kenaikan harga barang, kaum Neoliberalis memberikan bantuan langsung
kepada rakyat seperti BLT sebesar Rp 100 ribu/bulan. Namun sayang, tidak
semua rakyat kebagian. Banyak buruh/pekerja yang upahnya di bawah UMR
tidak menerima BLT. Garis Kemiskinan yang begitu rendah jauh di bawah
standar Bank Dunia yang US$ 2/orang/hari (Rp 660 ribu/bulan)
mengakibatkan banyak orang miskin tidak dapat BLT. Penerima BLT kurang
dari 40 juta orang. Padahal orang miskin di Indonesia dengan standar
Bank dunia diperkirakan sekitar 120 juta jiwa. Ada 80 juta rakyat miskin
yang tak menerima BLT sehingga kerap ada orang yang menurut garis
kemiskinan BPS “kaya” berebut BLT karena sebetulnya menurut garis
kemiskinan Bank Dunia masih miskin.
Ajaran Neoliberalisme yang
membisniskan semua barang termasuk air bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika anda tak punya uang, anda kesulitan menikmati air bersih.
Pernah di zaman Nabi ada orang Yahudi
yang memiliki sumur air dan menjualnya kepada masyarakat. Nabi Muhammad
meminta sahabat untuk membeli sumur tersebut dan memberikannya gratis
kepada seluruh rakyat.
Itulah ajaran Islam di mana air yang
merupakan kebutuhan pokok semua makhluk hidup harusnya bisa didapatkan
oleh semua makhluk hidup. Bukan hanya oleh orang yang bisa membeli saja.
Penghapusan Layanan Publik
Pelayanan Publik oleh negara seperti
pendidikan, kesehatan, transportasi dihapuskan. Diserahkan ke pihak
swasta atau harganya meningkat sesuai harga “Pasar”.
Meski pendidikan dasar SD-SMP gratis
(mungkin agar rakyat Indonesia bisa lulus SMP sehingga kalau jadi office
boy atau kuli tidak bodoh-bodoh amat), namun untuk SMA dan Perguruan
Tinggi Negeri biayanya sangat mahal. Uang masuk SMA Negeri sekitar rp
4-7 juta sementara SPP berkisar Rp 175 ribu-400 ribu/bulan. Melebihi
biaya di perguruan tinggi swasta seperti BSI yang kurang dari rp 200
ribu/bulan. Untuk masuk PTN apalagi Fakultas Kedokteran bisa mencapai Rp
75-200 juta.
Kesehatan juga begitu. Banyak Rumah
Sakit Pemerintah yang diprivatisasi. Operasi sederhana seperti operasi
usus buntu mencapai rp 10 juta lebih. Padahal teman saya yang operasi
gajinya tak jauh dari UMR.
Layanan Kesehatan gratis baru bisa didapat jika anda memenuhi kriteria miskin dan punya kartu Keluarga Miskin (GAKIN).
Pembangunan Bertumpu dengan Investor Asing dan Hutang Luar Negeri
Menurut kaum Neoliberalis, tidak
mungkin pembangunan dilakukan tanpa hutang. Padahal Arab Saudi yang
menasionalisasi perusahaan minyak ARAMCO pada tahun 1974 berhasil
meningkatkan pendapatan secara signifikan dan memakmurkan rakyatnya
tanpa perlu berhutang.
Hutang dari Lembaga Neoliberalisme
seperti IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya justru jadi belenggu yang
memaksa Indonesia menjual BUMN dan kekayaan alamnya.
Saat ini Rp 2.000 trilyun/tahun hasil
kekayaan alam Indonesia tidak dapat dinikmati rakyat sehingga mayoritas
rakyat Indonesia hidup melarat. Tapi justru oleh perusahaan asing yang
merupakan kroni dari IMF dan World Bank.
Jika Indonesia mandiri, maka hutang luar negeri yang cuma Rp 1.600 trilyun itu bisa lunas dalam waktu kurang dari setahun.
Jika Rp 2.000 trilyun/tahun hasil kekayaan alam Indonesia bisa dipakai untuk pembangunan, maka kita tidak perlu lagi berhutang.
Kaum Neoliberalis itu seperti makelar
hutang yang mendapat komisi dan berbagai keuntungan lainnya dari hasil
hutang berupa bunga dan juga penjualan BUMN dan kekayaan alam Indonesia.
Spekulasi Pasar Uang, Pasar Modal, dan Pasar Komoditas
Dari Rp 1.982 Trilyun perdagangan
saham di BEI, hanya Rp 44,37 Trilyun masuk ke Sektor Riel (2,24%).
Sementara 97% lebih tersedot untuk Spekulasi Saham.
Perdagangan valuta asing (valas) di
Indonesia sekitar Rp 7.000 trilyun/tahun dan terus meningkat. Uang jadi
lebih sebagai alat spekulasi ketimbang sebagai alat tukar.
Inilah contoh keserakahan Kartel dan
spekulan Pasar Minyak yang mempermainkan harga di Pasar Komoditas dan
tak terkontrol. Harga minyak dari US$ 20/brl (2002) jadi US$ 144/brl
(2008). Naik 7x lipat dalam 6 tahun!
Menurut ensiklopedi MS Encarta, dari
tahun 1950-2001 volume ekspor dunia meningkat 20 kali lipat. Sementara
perdagangan uang dari tahun 1970-2001 naik 150 x lipat dari US$ 10-20
milyar per hari jadi US$ 1,5 trilyun/hari (Rp 16.500 trilyun/hari)!
Spekulasi uang asing seperti Rupiah-Dollar-Yen-Euro, dsb lebih besar
ketimbang sebagai alat tukar untuk pembelian barang.
Itulah sistem Neoliberalisme yang
lebih mementingkan uang tersedot ke Spekulasi uang, saham, dan komoditas
(meski barang, tapi dipermainkan hingga jatuh tempo selama 6 tahun) di
Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas.
Penjajahan “Kompeni” Gaya Baru
Dulu yang menjajah kita adalah Kompeni
Belanda. Artinya Perusahaan (VOC-Verenigde Oost Indische Compagnie)
Belanda. Bukan Pemerintah Belanda. VOC ini mendirikan berbagai
perkebunan terutama rempah-rempah dan memonopolinya untuk dijual ke
Eropa.
Karena jumlahnya sedikit (total
penduduk Belanda waktu itu hanya 7 juta dan tentara Belanda di Indonesia
kurang dari 10.000), maka Kompeni Belanda tetap bekerjasama dengan
Raja-raja dan Bupati-bupati lokal. Raja-raja yang tidak mau bekerjasama
diperangi bersama sekutunya. Bangsa Indonesia bekerja sebagai kuli
kontrak.
Nah saat ini yang menguasai kekayaan
alam kita adalah Kompeni gaya baru, yaitu Multi National Company (MNC)
yang didukung oleh pemerintah AS dan sekutunya. Sejarah kembali
berulang. Raja-raja dan Bupati-bupati baru tetap orang Indonesia,
demikian pula Kuli Kontraknya. Bahkan para pengkhianat/komprador yang
bekerjasama dengan para penjajah pun tetap ada.
Bahkan jika dulu Kompeni Belanda
umumnya masih mengutamakan Perkebunan yang masih ramah lingkungan,
Kompeni baru sekarang menguras hasil tambang Indonesia seperti minyak,
gas, emas, perak, batubara, tembaga, dan sebagainya. Gunung-gunung di
Papua menjadi rata dan tercemar zat kimia, begitu pula di daerah-daerah
pertambangan lainnya. Sungai-sungai dan danau juga tercemar sehingga
rakyat setempat tidak bisa lagi mendapat makanan berupa ikan dari situ.
Jadi situasi penjajahan Kompeni gaya
baru ini justru lebih buruk dan ironisnya tidak disadari oleh mayoritas
rakyat Indonesia! Ini karena penjajah gaya baru ini membina begitu
banyak kaki tangan mulai dari LSM-LSM, Kampus-kampus, hingga media massa
yang mereka biayai (Contohnya TV Pemerintah AS VOA muncul di satu TV
Swasta di Indonesia sementara TVRI tidak bisa muncul).
Itulah sekilas dari Sistem
Neoliberalisme. Krisis Global yang terjadi saat ini tak lepas dari ulah
kaum Neoliberalis. Kenapa Indonesia terkena Krisis Global? Itu karena
ekonom yang diberi tanggung-jawab mengurusi ekonomi Indonesia secara
sadar/tidak sadar menganut sistem ekonomi Neoliberalisme. Tahun 1998
Indonesia kena krisis moneter. Tahun 2008 hingga sekarang kembali kena
krisis ekonomi sehingga PHK dan pengangguran meraja lela.
Neoliberalisme sangat berbahaya. Inilah komentar mantan presiden Venezuela tentang Neoliberalisme.
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru/rudal, tapi dengan wabah kelaparan
Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000
Referensi:
”Ekonomi Islam Vs Ekonomi Neo-Liberal”, M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi
LIPI
Kompas
The most dramatic evidence of
globalization is the increase in trade and the movement of capital
(stocks, bonds, currencies, and other investments). From 1950 to 2001
the volume of world exports rose by 20 times. By 2001 world trade
amounted to a quarter of all the goods and services produced in the
world. As for capital, in the early 1970s only $10 billion to $20
billion in national currencies were exchanged daily. By the early part
of the 21st century more than $1.5 trillion worth of yen, euros,
dollars, and other currencies were traded daily to support the expanded
levels of trade and investment. Large volumes of currency trades were
also made as investors speculated on whether the value of particular
currencies might go up or down.
Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.
THE INSTITUTIONS OF GLOBALIZATION
Three key institutions helped shape
the current era of globalization: the International Monetary Fund (IMF),
the World Bank, and the World Trade Organization (WTO). All three
institutions trace their origins to the end of World War II (1939-1945)
when the United States and the United Kingdom decided to set up new
institutions and rules for the global economy. At the Bretton Woods
Conference in New Hampshire in 1944, they and other countries created
the IMF to help stabilize currency markets. They also established what
was then called the International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) to help finance the rebuilding of Europe after the
war.
A. World Bank
Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Globalization
Encyclopedia Article
International Monetary Fund
The IMF makes loans so that countries
can maintain the value of their currencies and repay foreign debt.
Countries accumulate foreign debt when they buy more from the rest of
the world than they sell abroad. They then need to borrow money to pay
the difference, which is known as balancing their payments. After banks
and other institutions will no longer lend them money, they turn to the
IMF to help them balance their payments position with the rest of the
world. The IMF initially focused on Europe, but by the 1970s it changed
its focus to the less-developed economies. By the early 1980s a large
number of developing countries were having trouble financing their
foreign debts. In 1982 the IMF had to offer more loans to Mexico, which
was then still a developing country, and other Latin American nations
just so they could pay off their original debts.
The IMF and the World Bank
usually impose certain conditions for loans and require what are called
structural adjustment programs from borrowers. These programs amount to detailed instructions on what countries have to do to bring their economies under control. The
programs are based on a strategy called neoliberalism, also known as
the Washington Consensus because both the IMF and the World Bank are
headquartered in Washington, D.C. The strategy is geared toward
promoting free markets, including privatization (the selling off of
government enterprises); deregulation (removing rules that restrict
companies); and trade liberalization (opening local markets to foreign
goods by removing barriers to exports and imports). Finally, the
strategy also calls for shrinking the role of government, reducing
taxes, and cutting back on publicly provided services.
World Trade Organization
Another key institution shaping
globalization is the World Trade Organization (WTO), which traces its
origins to a 1948 United Nations (UN) conference in Havana, Cuba. The
conference called for the creation of an International Trade
Organization to lower tariffs (taxes on imported goods) and to encourage
trade. Although the administration of President Harry S. Truman was
instrumental in negotiating this agreement, the U.S. Congress considered
it a violation of American sovereignty and refused to ratify it. In its
absence another agreement, known as the General Agreement on Tariffs
and Trade (GATT), emerged as the forum for a series of negotiations on
lowering tariffs. The last of these negotiating sessions, known as the
Uruguay Round, established the WTO, which began operating in 1995. Since
its creation, the WTO has increased the scope of trading agreements.
Such agreements no longer involve only the trade of manufactured
products. Today agreements involve services, investments, and the
protection of intellectual property rights, such as patents and
copyrights. The United States receives over half of its international
income from patents and royalties for use of copyrighted material.
IV
Criticisms Directed at the IMF and WTO
Many economists believed that lifting
trade barriers and increasing the free movement of capital across
borders would narrow the sharp income differences between rich and poor
countries. This has generally not happened. Poverty rates have decreased
in the two most heavily populated countries in the world, India and
China. However, excluding these two countries, poverty and inequality
have increased in less-developed and so-called transitional (formerly
Communist) countries. For low- and middle-income countries the rate of
growth in the decades of globalization from 1980 to 2000 amounted to
less than half what it was during the previous two decades from 1960 to
1980. Although this association of slow economic development and the
global implementation of neoliberal economic policies is not necessarily
strict evidence of cause and effect, it contributes to the
dissatisfaction of those who had hoped globalization would deliver more
growth. A slowdown in progress on indicators of social well-being, such
as life expectancy, infant and child mortality, and literacy, also has
lowered expectations about the benefits of globalization.
IMF Terms and Conditions
The IMF, in particular, has been
criticized for the loan conditions it has imposed on developing
countries. Economist Joseph Stiglitz, a Nobel Prize winner and former
chief economist at the World Bank, has attacked the IMF for policies
that he says often make the fund’s clients worse, not better, off.
So-called IMF riots have followed the imposition of conditions such as
raising the fare on public transportation and ending subsidies for basic
food items. Some countries have also objected to the privatization of
electricity and water supplies because the private companies taking over
these functions often charge higher prices even though they may provide
better service than government monopolies. The IMF says there is no
alternative to such harsh medicine.
The WTO has faced much criticism as
well. This criticism is often directed at the rich countries in the WTO,
which possess the greatest bargaining power. Critics say the rich
countries have negotiated trade agreements at the expense of the poor
countries.
The Final Act of the Uruguay Round
that established the WTO proclaimed the principle of “special and
different treatment.” Behind this principle was the idea that developing
countries should be held to more lenient standards when it came to
making difficult economic changes so that they could move to free trade
more slowly and thereby minimize the costs involved. In practice,
however, the developing countries have not enjoyed “special and
different treatment.” In fact, in the areas of agriculture and the
textile and clothing industries where the poorer countries often had a
comparative advantage, the developing countries were subjected to higher
rather than lower tariffs to protect domestic industries in the
developed countries. For example, the 48 least-developed countries in
the world faced tariffs on their agricultural exports that were on
average 20 percent higher than those faced by the rest of the world on
their agricultural exports to industrialized countries. This discrepancy
increased to 30 percent higher on manufacturing exports from developing
countries.
Neoliberalisme – Wikipedia
ANALISIS : Neoliberalisme ===> Oleh : Revrisond Baswir
18/05/2009 08:50:25
NEOLIBERALISME. Tiba-tiba saja
mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya
adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut
para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang
ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat
berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud mengupas
Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah
untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme
secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara
benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat
dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas
mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa
dirinya bukan seorang neoliberalis.
Sesuai dengan namannya,
neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal.
Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari
merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan
neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi
kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.
Sebagaimana diketahui, dalam paham
ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus
dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka
campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama
sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi
besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar
liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu
mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi
kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya
kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya
Perang Dunia II.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar
liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang
dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan
terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara
sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan
Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan
Simon.
Sebagaimana dikemas dalam paket
kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar
neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal
adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara
bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor
produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang
alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara
melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam
konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS)
pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan
perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal
tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh
John Maynard Keynes.
Sebagaimana diketahui, dalam konsep
negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam
perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi
diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi
fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil,
menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait
dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan:
“Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara
dalam perekonomian tetap dibenarkan.”
Namun kedigdayaan keynesianisme tidak
bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagan sebagai
presiden AS dan Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme
secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di
Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi
kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan
dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.
Selanjutnya, terkait dengan
negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan
momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter
secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS
bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah
paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan
Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang
menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah
sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk
kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3)
liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian
Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal
itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani
pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF
pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal
oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.
Menyimak uraian tersebut, secara
singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme,
neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar.
Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi
sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme
pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas
ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka
sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki
kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.
WallahuaÆlambishawab. (Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan UGM)-a
PT Freeport Indonesia masih melakukan
pembicaraan dengan pemerintah terkait permintaan revisi kontrak karya
(KK) untuk menaikkan royalti emas menjadi 3,5 persen dari sebelumnya 1
persen. Belum diputuskan apakah Freeport akan menerima revisi tersebut
atau tidak. Demikian disampaikan Manager Corporate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar