Sabtu, 31 Maret 2012
Bersatulah Mahasiswa dan Buruh
Pidato Presiden tadi malam pukul 21.30 wib yang diharapkan
akan menjawab pertanyaan public, apakah kenaikkan BBM dibatalkan demi
daya tahan rakyat yang telah jauh merosot sejak tersiarnya berita
kenaikkan harga BBM dan meningkatnya harga2 kebutuhan pokok tidak
terjawab . Presiden malah menghargai dan memahami keputusan DPR yang
hanya menunda kenaikkan BBM. Sekarang baik DPR ( legislative) maupun
Pemerintah (excecutif) dimata mahasiswa dan buruh dan rakyat kecil
makin jauh merosot . Pidato Presiden tersebut tidak menyentuh hal yang
subtansil bagi keperluan rakyat. Pidato tersebut terasa hambar dan hanya
diplomasi politis pencitraan saja. Dan juga kejadian keributan disidang
DPR yang disiarkan tv one menampakkan sebagian besar anggota DPR
memang tidak pantas lagi disebut wakil rakyat . Mereka hanya mewakili
kepentingan partainya bukan wakil rakyat . Bersatulah Mahasiswa dan buruh
serta rakyat kecil . Perjuangan baru dimulai .Tuhan akan menyertaimu .
Mahasiswa Buruh Tolak DPR
kompasiana.com
Keputusan sidang paripurna DPR RI yang menunda kenaikkan harga BBM ditolak oleh Buruh dan Mahasiswa .Klausul tambahan dalam APBNP 2012 yang memberi peluang kepada pemerintah agar dapat menaikkan dan menurunkan harga BBM bila harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan atau turun rata-rata 15 persen dalam waktu 6 bulan ,dianggap oleh mahasiswa dan buruh adalah keputusan yang melanggar konstitusi. Menurut seorang korlap demonstrasi buruh , mereka akan tetap melakukan unjuk rasa sampai Pemerintah memenuhi tuntutan mereka membatalkan kenaikkan harga BBM tanpa embel2 apapun .
Jumat, 30 Maret 2012
Voting, Ini Dua Opsi Kenaikan Harga BBM
Sabtu, 31 Maret 2012
JAKARTA, KOMPAS.com - Paripurna DPR RI menempuh jalan pemungutan suara (voting) secara terbuka untuk memutuskan penghapusan pasal 7 ayat 6 UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2011 terkait penentuan kenaikan harga BBM. Ketua DPR RI Marzuki Alie yang memimpin sidang paripurna DPR RI, Jumat (30/3/2012) malam, mengetuk palu untuk mengesahkan mekanisme voting dalam pengambilan keputusan.
Dalam mekanisme ini, anggota fraksi akan memilih dua opsi yang akhirnya diputuskan setelah lobi berlangsung sekitar 5 jam sejak tadi sore. Opsi ini juga diciutkan setelah Fraksi Demokrat menyesuaikan opsi persyaratan tanpa mengubah sikap serta Fraksi PKS mencabut pernyataan sikapnya yang semula.
"Opsi pertama adalah Pasal 7 ayat 6 tetap, tidak berubah. Artinya tak ada kenaikan BBM. Pemerintah diperintahkan untuk tidak menaikkan harga BBM," ungkap Marzuki.
"Opsi kedua, pasal 7 ayat 6 tak berubah ditambah ayat 6 a yang berbunyi dalam hal harga minyak mentah rata-rata Indonesia dalam kurun waktu berjalan yaitu 6 bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya," lanjutnya kemudian.
Marzuki tampak kesulitan untuk memulai jalannya mekanisme voting karena masih mendapat pertentangan dari anggota sidang paripurna. Pertentangan ini menyangkut opsi yang dipilih melalui voting. Namun, karena opsi sudah tercetak dan Marzuki merasa opsinya sudah jelas, proses voting pun dilanjutkan.
Sabtu, 24 Maret 2012
Apa itu Neoliberalisme?
Mei 25, 2009 by A Nizami
Saat ini ramai diberitakan bahwa Capres “X” atau Cawapres “Y” adalah Neoliberalis atau Antek Asing sementara pihak yang tertuduh atau simpatisannya membelanya. Istilah “Neoliberalis” jadi populer sekarang.
Saat ini ramai diberitakan bahwa Capres “X” atau Cawapres “Y” adalah Neoliberalis atau Antek Asing sementara pihak yang tertuduh atau simpatisannya membelanya. Istilah “Neoliberalis” jadi populer sekarang.
Tapi masih banyak orang yang tidak
tahu “Apa sih Neoliberalis itu?” Oleh karena itu saya akan mencoba
menjelaskannya sesederhana mungkin sehingga orang awam bisa memahaminya.
Neoliberalisme
adalah paham Ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis Perdagangan
Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN,
Deregulasi/Penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran
negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh
IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan
untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan
sekutunya/MNC.
Sistem Ekonomi Neoliberalisme
menghilangkan peran negara sama sekali kecuali sebagai “regulator” atau
pemberi “stimulus” (baca: uang negara) untuk menolong perusahaan swasta
yang bangkrut. Sebagai contoh, pemerintah AS harus mengeluarkan
“stimulus” sebesar US$ 800 milyar (Rp 9.600 trilyun) sementara Indonesia
pada krisis monter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 trilyun
dan BLBI senilai Rp 600 trilyun. Melebihi APBN saat itu. Sistem ini
berlawanan 100% dengan Sistem Komunis di mana negara justru menguasai
nyaris 100% usaha yang ada.
Di tengah-tengahnya ada Ekonomi
Kerakyatan seperti tercantum di UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa
kebutuhan rakyat seperti Sembako, Energi, dan Air harus dikuasai negara.
Begitu pula kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Untuk itu dibuat berbagai BUMN seperti Pertamina,
PAM, PLN, dan sebagainya sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan harga
yang terjangkau.
Selain itu ada juga Sistem Ekonomi
Islam yang hampir mirip dengan Ekonomi Rakyat di mana padang (tanah
luas), api (energi), dan air adalah “milik bersama.” Nabi Muhammad juga
memerintahkan sahabat untuk membeli sumur air milik Yahudi sehingga air
yang sebelumnya jadi komoditas untuk mendapat keuntungan dibagikan
gratis guna memenuhi kebutuhan rakyat.
Neoliberalisme disebut juga dengan Globalisasi (Globalization). Neoliberalis adalah orang yang menganut paham Neoliberalisme.
Lembaga Utama yang menjalankan
Neoliberalisme adalah IMF, World Bank, dan WTO. Di bawahnya ada lembaga
lain seperti ADB. Dengan belenggu hutang (misalnya hutang Indonesia yang
meningkat dari Rp 1.200 trilyun 20 tahun 2004 dan bengkak jadi Rp 1.600
trilyun di 2009) lembaga tersebut memaksakan program Neoliberalisme ke
seluruh dunia. Pemerintah AS (USAID) bertindak sebagai Project Manager
yang kerap campur tangan terhadap pembuatan UU di berbagai negara untuk
memungkinkan neoliberalisme berjalan (misalnya di negeri kita UU Migas).
Mari kita bahas satu per satu agenda utama Neoliberalisme.
Privatisasi/Penjualan BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Neoliberalis menghendaki negara tidak
berbisnis meski bisnis tersebut menyangkut kekayaan alam negara dan
juga menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Oleh karena itu semua BUMN
harus dijual atau diprivatisasi ke pihak swasta. Karena swasta Nasional
keuangannya terbatas, umumnya yang membelinya adalah pihak asing
seperti Indosat dan Telkom yang dijual ke perusahaan asing seperti STT
dan Singtel yang ternyata anak perusahaan dari Temasek (BUMN Singapura).
PAM (Perusahaan Air Minum) yang
dibeli pihak asing sehingga jadi Palyja (Lyonnaise, Perancis) dan TPJ
(Thames PAM Jaya yang kemudian dibeli oleh AETRA). Privatisasi ini
akhirnya menyebabkan tarif PAM naik berkali-kali hingga sekarang 1 m3
jadi sekitar Rp 7.000.
Yang berbahaya adalah ketika
perusahaan swasta/asing itu bergerak di bidang pertambangan seperti
minyak, gas, emas, perak, tembaga, dan sebagainya, sehingga kekayaan
alam Indonesia bukannya dinikmati oleh rakyat Indonesia justru masuk ke
kantong asing. Inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Menurut
PENA, Rp 2.000 trilyun setiap tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia
masuk ke tangan asing. Padahal APBN kita saat itu hanya sekitar Rp 1.000
trilyun sementara hutang luar negeri Rp 1.600 trilyun.
Sebagai contoh, Freeport yang menguasai
lahan tambang di Papua di mana satu gunung Grassberg saja punya deposit
emas sebanyak US$ 50 milyar (Rp 500 trilyun), ternyata hanya memberi
royalti ke Indonesia 1% saja! Jadi kalau Freeport dapat Rp 495 trilyun,
Indonesia cuma dapat Rp 5 trilyun. Bagaimana Indonesia bisa kaya?
Jika Privatisasi khususnya yang
menyangkut kekayaan alam bisa dihentikan, maka hutang luar negeri bisa
dilunasi dalam waktu kurang dari setahun. Para pejabat dan pegawai
negeri bisa hidup senang dengan anggaran Rp 1000 trilyun/tahun dan
rakyat bisa makmur dengan rp 2.000 trilyun/tahun yang saat ini justru
dinikmati asing.
Prinsip Neoliberalisme di atas jelas
bertentangan dengan UUD 45 (yang saat ini diamandemen) dan juga ajaran
Islam. Meski Pancasila dan Islam tidak menganut paham komunisme di mana
semua diatur negara, tapi untuk hal-hal yang penting dan menguasai
kebutuhan orang banyak serta kekayaan alam itu adalah milik bersama.
Bukan segelintir pemilik perusahaan/asing.
Kaum muslimin berserikat (memiliki
bersama) dalam tiga hal, yaitu air, rerumputan (di padang rumput yang
tidak bertuan), dan api (migas/energi). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat UUD 45 Pasal 33 ayat 3
Lihat privatisasi BUMN yang telah terjadi:
Yang parah adalah Bank Indonesia (BI) yang merupakan Bank Sentral
Indonesia yang memiliki otoritas membuat uang diswastanisasi dan
akhirnya dikontrol oleh IMF lewat LOI IMF yang terpaksa ditanda-tangani
Soeharto. Pemerintah yang telah dipilih secara resmi oleh rakyat tidak
berdaulat lagi atas BI. Sebagai gantinya justru Dinasti Rothschild via
IMF yang menguasai BI.
Dengan jumawa Amschel Rothschild berkata di Frankfurt, “Let me issue and
control a nation’s money, and I care not who writes the laws.” “Biarkan
saya mengeluarkan dan mengawasi uang satu negara, dan saya tidak akan
peduli siapa yang menulis hukumnya.”
Pencabutan Subsidi Barang
Menurut kaum Neoliberalis, subsidi
barang adalah penyakit. Oleh karena itu subsidi BBM, angkutan umum, air,
dan sebagainya dihapuskan. Harga barang mengikuti harga pasar dunia
sehingga harga barang terus meroket melebihi kenaikan penghasilan
rakyat.
Sebagai
contoh harga Premium yang tahun 2004 masih Rp 1.800/liter naik hingga
Rp 6.000/liter. Sementara harga Pertamax betul-betul mengikuti harga
minyak dunia sehingga harganya sama dengan di AS. Padahal jika garis
kemiskinan di Indonesia hanya Rp 182 ribu/bulan, di AS sekitar Rp 10,4
juta/bulan. Di AS, seorang pengantar Pizza bisa mendapat Rp 14
juta/bulan belum termasuk tip. Sementara di Indonesia, seorang manager
belum tentu dapat gaji rp 2 juta/bulan.
Jadi kebijakan kaum Neoliberalis yang
memaksakan harga barang mengikuti harga pasar/dunia betul-betul
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Barang | Harga 2005 | Harga 2008 | Kenaikan |
Premium | 1.810 | 6.000 | 231% |
Beras | 3.000 | 6.000 | 100% |
Angkutan Umum | 1.000 | 2.500 | 150% |
Minyak Goreng | 4.500 | 13.000 | 189% |
UMR | 635.000 | 972.000 | 53% |
Sebagai kompensasi atas berbagai
kenaikan harga barang, kaum Neoliberalis memberikan bantuan langsung
kepada rakyat seperti BLT sebesar Rp 100 ribu/bulan. Namun sayang, tidak
semua rakyat kebagian. Banyak buruh/pekerja yang upahnya di bawah UMR
tidak menerima BLT. Garis Kemiskinan yang begitu rendah jauh di bawah
standar Bank Dunia yang US$ 2/orang/hari (Rp 660 ribu/bulan)
mengakibatkan banyak orang miskin tidak dapat BLT. Penerima BLT kurang
dari 40 juta orang. Padahal orang miskin di Indonesia dengan standar
Bank dunia diperkirakan sekitar 120 juta jiwa. Ada 80 juta rakyat miskin
yang tak menerima BLT sehingga kerap ada orang yang menurut garis
kemiskinan BPS “kaya” berebut BLT karena sebetulnya menurut garis
kemiskinan Bank Dunia masih miskin.
Ajaran Neoliberalisme yang
membisniskan semua barang termasuk air bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika anda tak punya uang, anda kesulitan menikmati air bersih.
Pernah di zaman Nabi ada orang Yahudi
yang memiliki sumur air dan menjualnya kepada masyarakat. Nabi Muhammad
meminta sahabat untuk membeli sumur tersebut dan memberikannya gratis
kepada seluruh rakyat.
Itulah ajaran Islam di mana air yang
merupakan kebutuhan pokok semua makhluk hidup harusnya bisa didapatkan
oleh semua makhluk hidup. Bukan hanya oleh orang yang bisa membeli saja.
Penghapusan Layanan Publik
Pelayanan Publik oleh negara seperti
pendidikan, kesehatan, transportasi dihapuskan. Diserahkan ke pihak
swasta atau harganya meningkat sesuai harga “Pasar”.
Meski pendidikan dasar SD-SMP gratis
(mungkin agar rakyat Indonesia bisa lulus SMP sehingga kalau jadi office
boy atau kuli tidak bodoh-bodoh amat), namun untuk SMA dan Perguruan
Tinggi Negeri biayanya sangat mahal. Uang masuk SMA Negeri sekitar rp
4-7 juta sementara SPP berkisar Rp 175 ribu-400 ribu/bulan. Melebihi
biaya di perguruan tinggi swasta seperti BSI yang kurang dari rp 200
ribu/bulan. Untuk masuk PTN apalagi Fakultas Kedokteran bisa mencapai Rp
75-200 juta.
Kesehatan juga begitu. Banyak Rumah
Sakit Pemerintah yang diprivatisasi. Operasi sederhana seperti operasi
usus buntu mencapai rp 10 juta lebih. Padahal teman saya yang operasi
gajinya tak jauh dari UMR.
Layanan Kesehatan gratis baru bisa didapat jika anda memenuhi kriteria miskin dan punya kartu Keluarga Miskin (GAKIN).
Pembangunan Bertumpu dengan Investor Asing dan Hutang Luar Negeri
Menurut kaum Neoliberalis, tidak
mungkin pembangunan dilakukan tanpa hutang. Padahal Arab Saudi yang
menasionalisasi perusahaan minyak ARAMCO pada tahun 1974 berhasil
meningkatkan pendapatan secara signifikan dan memakmurkan rakyatnya
tanpa perlu berhutang.
Hutang dari Lembaga Neoliberalisme
seperti IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya justru jadi belenggu yang
memaksa Indonesia menjual BUMN dan kekayaan alamnya.
Saat ini Rp 2.000 trilyun/tahun hasil
kekayaan alam Indonesia tidak dapat dinikmati rakyat sehingga mayoritas
rakyat Indonesia hidup melarat. Tapi justru oleh perusahaan asing yang
merupakan kroni dari IMF dan World Bank.
Jika Indonesia mandiri, maka hutang luar negeri yang cuma Rp 1.600 trilyun itu bisa lunas dalam waktu kurang dari setahun.
Jika Rp 2.000 trilyun/tahun hasil kekayaan alam Indonesia bisa dipakai untuk pembangunan, maka kita tidak perlu lagi berhutang.
Kaum Neoliberalis itu seperti makelar
hutang yang mendapat komisi dan berbagai keuntungan lainnya dari hasil
hutang berupa bunga dan juga penjualan BUMN dan kekayaan alam Indonesia.
Spekulasi Pasar Uang, Pasar Modal, dan Pasar Komoditas
Dari Rp 1.982 Trilyun perdagangan
saham di BEI, hanya Rp 44,37 Trilyun masuk ke Sektor Riel (2,24%).
Sementara 97% lebih tersedot untuk Spekulasi Saham.
Perdagangan valuta asing (valas) di
Indonesia sekitar Rp 7.000 trilyun/tahun dan terus meningkat. Uang jadi
lebih sebagai alat spekulasi ketimbang sebagai alat tukar.
Inilah contoh keserakahan Kartel dan
spekulan Pasar Minyak yang mempermainkan harga di Pasar Komoditas dan
tak terkontrol. Harga minyak dari US$ 20/brl (2002) jadi US$ 144/brl
(2008). Naik 7x lipat dalam 6 tahun!
Menurut ensiklopedi MS Encarta, dari
tahun 1950-2001 volume ekspor dunia meningkat 20 kali lipat. Sementara
perdagangan uang dari tahun 1970-2001 naik 150 x lipat dari US$ 10-20
milyar per hari jadi US$ 1,5 trilyun/hari (Rp 16.500 trilyun/hari)!
Spekulasi uang asing seperti Rupiah-Dollar-Yen-Euro, dsb lebih besar
ketimbang sebagai alat tukar untuk pembelian barang.
Itulah sistem Neoliberalisme yang
lebih mementingkan uang tersedot ke Spekulasi uang, saham, dan komoditas
(meski barang, tapi dipermainkan hingga jatuh tempo selama 6 tahun) di
Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas.
Penjajahan “Kompeni” Gaya Baru
Dulu yang menjajah kita adalah Kompeni
Belanda. Artinya Perusahaan (VOC-Verenigde Oost Indische Compagnie)
Belanda. Bukan Pemerintah Belanda. VOC ini mendirikan berbagai
perkebunan terutama rempah-rempah dan memonopolinya untuk dijual ke
Eropa.
Karena jumlahnya sedikit (total
penduduk Belanda waktu itu hanya 7 juta dan tentara Belanda di Indonesia
kurang dari 10.000), maka Kompeni Belanda tetap bekerjasama dengan
Raja-raja dan Bupati-bupati lokal. Raja-raja yang tidak mau bekerjasama
diperangi bersama sekutunya. Bangsa Indonesia bekerja sebagai kuli
kontrak.
Nah saat ini yang menguasai kekayaan
alam kita adalah Kompeni gaya baru, yaitu Multi National Company (MNC)
yang didukung oleh pemerintah AS dan sekutunya. Sejarah kembali
berulang. Raja-raja dan Bupati-bupati baru tetap orang Indonesia,
demikian pula Kuli Kontraknya. Bahkan para pengkhianat/komprador yang
bekerjasama dengan para penjajah pun tetap ada.
Bahkan jika dulu Kompeni Belanda
umumnya masih mengutamakan Perkebunan yang masih ramah lingkungan,
Kompeni baru sekarang menguras hasil tambang Indonesia seperti minyak,
gas, emas, perak, batubara, tembaga, dan sebagainya. Gunung-gunung di
Papua menjadi rata dan tercemar zat kimia, begitu pula di daerah-daerah
pertambangan lainnya. Sungai-sungai dan danau juga tercemar sehingga
rakyat setempat tidak bisa lagi mendapat makanan berupa ikan dari situ.
Jadi situasi penjajahan Kompeni gaya
baru ini justru lebih buruk dan ironisnya tidak disadari oleh mayoritas
rakyat Indonesia! Ini karena penjajah gaya baru ini membina begitu
banyak kaki tangan mulai dari LSM-LSM, Kampus-kampus, hingga media massa
yang mereka biayai (Contohnya TV Pemerintah AS VOA muncul di satu TV
Swasta di Indonesia sementara TVRI tidak bisa muncul).
Itulah sekilas dari Sistem
Neoliberalisme. Krisis Global yang terjadi saat ini tak lepas dari ulah
kaum Neoliberalis. Kenapa Indonesia terkena Krisis Global? Itu karena
ekonom yang diberi tanggung-jawab mengurusi ekonomi Indonesia secara
sadar/tidak sadar menganut sistem ekonomi Neoliberalisme. Tahun 1998
Indonesia kena krisis moneter. Tahun 2008 hingga sekarang kembali kena
krisis ekonomi sehingga PHK dan pengangguran meraja lela.
Neoliberalisme sangat berbahaya. Inilah komentar mantan presiden Venezuela tentang Neoliberalisme.
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru/rudal, tapi dengan wabah kelaparan
Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000
Referensi:
”Ekonomi Islam Vs Ekonomi Neo-Liberal”, M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi
LIPI
Kompas
The most dramatic evidence of
globalization is the increase in trade and the movement of capital
(stocks, bonds, currencies, and other investments). From 1950 to 2001
the volume of world exports rose by 20 times. By 2001 world trade
amounted to a quarter of all the goods and services produced in the
world. As for capital, in the early 1970s only $10 billion to $20
billion in national currencies were exchanged daily. By the early part
of the 21st century more than $1.5 trillion worth of yen, euros,
dollars, and other currencies were traded daily to support the expanded
levels of trade and investment. Large volumes of currency trades were
also made as investors speculated on whether the value of particular
currencies might go up or down.
Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.
THE INSTITUTIONS OF GLOBALIZATION
Three key institutions helped shape
the current era of globalization: the International Monetary Fund (IMF),
the World Bank, and the World Trade Organization (WTO). All three
institutions trace their origins to the end of World War II (1939-1945)
when the United States and the United Kingdom decided to set up new
institutions and rules for the global economy. At the Bretton Woods
Conference in New Hampshire in 1944, they and other countries created
the IMF to help stabilize currency markets. They also established what
was then called the International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) to help finance the rebuilding of Europe after the
war.
A. World Bank
Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Globalization
Encyclopedia Article
International Monetary Fund
The IMF makes loans so that countries
can maintain the value of their currencies and repay foreign debt.
Countries accumulate foreign debt when they buy more from the rest of
the world than they sell abroad. They then need to borrow money to pay
the difference, which is known as balancing their payments. After banks
and other institutions will no longer lend them money, they turn to the
IMF to help them balance their payments position with the rest of the
world. The IMF initially focused on Europe, but by the 1970s it changed
its focus to the less-developed economies. By the early 1980s a large
number of developing countries were having trouble financing their
foreign debts. In 1982 the IMF had to offer more loans to Mexico, which
was then still a developing country, and other Latin American nations
just so they could pay off their original debts.
The IMF and the World Bank
usually impose certain conditions for loans and require what are called
structural adjustment programs from borrowers. These programs amount to detailed instructions on what countries have to do to bring their economies under control. The
programs are based on a strategy called neoliberalism, also known as
the Washington Consensus because both the IMF and the World Bank are
headquartered in Washington, D.C. The strategy is geared toward
promoting free markets, including privatization (the selling off of
government enterprises); deregulation (removing rules that restrict
companies); and trade liberalization (opening local markets to foreign
goods by removing barriers to exports and imports). Finally, the
strategy also calls for shrinking the role of government, reducing
taxes, and cutting back on publicly provided services.
World Trade Organization
Another key institution shaping
globalization is the World Trade Organization (WTO), which traces its
origins to a 1948 United Nations (UN) conference in Havana, Cuba. The
conference called for the creation of an International Trade
Organization to lower tariffs (taxes on imported goods) and to encourage
trade. Although the administration of President Harry S. Truman was
instrumental in negotiating this agreement, the U.S. Congress considered
it a violation of American sovereignty and refused to ratify it. In its
absence another agreement, known as the General Agreement on Tariffs
and Trade (GATT), emerged as the forum for a series of negotiations on
lowering tariffs. The last of these negotiating sessions, known as the
Uruguay Round, established the WTO, which began operating in 1995. Since
its creation, the WTO has increased the scope of trading agreements.
Such agreements no longer involve only the trade of manufactured
products. Today agreements involve services, investments, and the
protection of intellectual property rights, such as patents and
copyrights. The United States receives over half of its international
income from patents and royalties for use of copyrighted material.
IV
Criticisms Directed at the IMF and WTO
Many economists believed that lifting
trade barriers and increasing the free movement of capital across
borders would narrow the sharp income differences between rich and poor
countries. This has generally not happened. Poverty rates have decreased
in the two most heavily populated countries in the world, India and
China. However, excluding these two countries, poverty and inequality
have increased in less-developed and so-called transitional (formerly
Communist) countries. For low- and middle-income countries the rate of
growth in the decades of globalization from 1980 to 2000 amounted to
less than half what it was during the previous two decades from 1960 to
1980. Although this association of slow economic development and the
global implementation of neoliberal economic policies is not necessarily
strict evidence of cause and effect, it contributes to the
dissatisfaction of those who had hoped globalization would deliver more
growth. A slowdown in progress on indicators of social well-being, such
as life expectancy, infant and child mortality, and literacy, also has
lowered expectations about the benefits of globalization.
IMF Terms and Conditions
The IMF, in particular, has been
criticized for the loan conditions it has imposed on developing
countries. Economist Joseph Stiglitz, a Nobel Prize winner and former
chief economist at the World Bank, has attacked the IMF for policies
that he says often make the fund’s clients worse, not better, off.
So-called IMF riots have followed the imposition of conditions such as
raising the fare on public transportation and ending subsidies for basic
food items. Some countries have also objected to the privatization of
electricity and water supplies because the private companies taking over
these functions often charge higher prices even though they may provide
better service than government monopolies. The IMF says there is no
alternative to such harsh medicine.
The WTO has faced much criticism as
well. This criticism is often directed at the rich countries in the WTO,
which possess the greatest bargaining power. Critics say the rich
countries have negotiated trade agreements at the expense of the poor
countries.
The Final Act of the Uruguay Round
that established the WTO proclaimed the principle of “special and
different treatment.” Behind this principle was the idea that developing
countries should be held to more lenient standards when it came to
making difficult economic changes so that they could move to free trade
more slowly and thereby minimize the costs involved. In practice,
however, the developing countries have not enjoyed “special and
different treatment.” In fact, in the areas of agriculture and the
textile and clothing industries where the poorer countries often had a
comparative advantage, the developing countries were subjected to higher
rather than lower tariffs to protect domestic industries in the
developed countries. For example, the 48 least-developed countries in
the world faced tariffs on their agricultural exports that were on
average 20 percent higher than those faced by the rest of the world on
their agricultural exports to industrialized countries. This discrepancy
increased to 30 percent higher on manufacturing exports from developing
countries.
Neoliberalisme – Wikipedia
ANALISIS : Neoliberalisme ===> Oleh : Revrisond Baswir
18/05/2009 08:50:25
NEOLIBERALISME. Tiba-tiba saja
mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya
adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang. Menurut
para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang
ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat
berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud mengupas
Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah
untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme
secara singkat. Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara
benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat
dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas
mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa
dirinya bukan seorang neoliberalis.
Sesuai dengan namannya,
neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal.
Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari
merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme dan
neokeynesianisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi
kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.
Sebagaimana diketahui, dalam paham
ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus
dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka
campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama
sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi
besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar
liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu
mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi
kemanusiaan. Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya
kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya
Perang Dunia II.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar
liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang
dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan
terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara
sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan
Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan
Simon.
Sebagaimana dikemas dalam paket
kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar
neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal
adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara
bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor
produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang
alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara
melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam
konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS)
pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan
perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal
tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh
John Maynard Keynes.
Sebagaimana diketahui, dalam konsep
negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam
perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi
diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi
fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil,
menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait
dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan:
“Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara
dalam perekonomian tetap dibenarkan.”
Namun kedigdayaan keynesianisme tidak
bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagan sebagai
presiden AS dan Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme
secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di
Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi
kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan
dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.
Selanjutnya, terkait dengan
negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan
momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter
secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS
bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah
paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan
Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang
menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah
sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk
kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3)
liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian
Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal
itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani
pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF
pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal
oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.
Menyimak uraian tersebut, secara
singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme,
neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar.
Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi
sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme
pasar. Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas
ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka
sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki
kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.
WallahuaÆlambishawab. (Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan UGM)-a
PT Freeport Indonesia masih melakukan
pembicaraan dengan pemerintah terkait permintaan revisi kontrak karya
(KK) untuk menaikkan royalti emas menjadi 3,5 persen dari sebelumnya 1
persen. Belum diputuskan apakah Freeport akan menerima revisi tersebut
atau tidak. Demikian disampaikan Manager Corporate
Kamis, 22 Maret 2012
Bukittinggi, Kota Perdagangan di Daerah Pedalaman Minangkabau
a. Peralihan Komoditi Emas & Lada ke Komoditi Kopi
Di samping itu, bersamaan dengan perdagangan emas ini, di Luhak Agam juga sudah berkembang perdagangan komoditi lada, yaitu yang terkenal di Kamang, Tanjung, Sikabau dan Sikilang di kawasan utara pesisir pantai barat, yang sudah berkembang sejak abad ke-17. Perkembangan perdagangan lada telah memperluas keterlibatan pedalaman (darek) dalam proses interaksi dengan kawasan rantau. Mengalirnya arus perdagangan lada pedalaman ke kawasan pantai, menyebabkan beberapa tempat pemukiman berkembang menjadi bandar niaga, tempat pertemuan pedagang Minangkabau dan saudagar asing seperti Cina dan Eropa (Nain, 1988). Pada masa ini arus perdagangan dari pedalaman mengalir ke kawasan pinggiran atau pesisir yang merupakan kelanjutan perdagangan beranting yang menciptakan mata rantai pasar-pasar tempat timbulnya transaksi antara pedagang pribumi dan pedagang asing.
Perkembangan daerah produksi dan perdagangan lada di daerah pedalaman lebih luas dari daerah penghasil emas. Produksi dan perdagangan lada berkembang dengan pesat, sedangkan sektor produksi dan perdagangan emas sepenuhnya berada di bawah pengawasan raja. Daerah pedalaman makin berkembang ekonominya, apalagi ketika komoditi kopi mulai muncul di daerah pedalaman yang menggantikan kedudukan perdagangan lada dan emas (Nain, 1988).
Komoditi kopi mulai dikenal masyarakat Utara lereng Gunung Merapi semenjak 1780, diperkenalkan oleh pedagang Arab dan beberapa haji yang baru pulang dari Mekah. Zed (1983) mengatakan setelah tahun ini kemakmuran di Luhak Agam semakin meningkat, terutama setelah adanya permintaan kopi untuk di ekspor. Timbulnya komoditi kopi di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota sejak abad ke-18 telah menggeser perkembangan pedalaman secara keseluruhan. Luhak Tanah Datar yang semula berjaya dengan perdagangan emasnya mulai hilang kekuatannya. Lebih-lebih lagi dengan munculnya Gerakan Paderi, yang basisnya berada di luar pengaruh kerajaan, sehingga mempercepat mundurnya kekuatan ekonomi kerajaan Pagaruyung dan pengikutnya (Dobbin, 1983 dalam Nain, 1988).
Perkembangan komoditi kopi di Minangkabau sebelum kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda, perdagangan kopi masih bisa bergerak leluasa tanpa terikat ke dalam jaringan perdagangan yang dikuasai Belanda. Zed (1983) menamakan dengan masa perdagangan kopi bebas, yaitu sekitar tahun 1780 – 1833. Para pedagang dapat menjual langsung komoditi kopi melalui kontak-kontak dagang dengan pedagang asing seperti Inggris dan Amerika. Perkembangan dari komoditi kopi ini telah sampai ke pasar-pasar di Padang pada tahun 1789, walaupun belum menjadi komoditi ekspor. Barulah sekitar tahun 1790, komoditi kopi mulai berkembang menjadi komoditi ekspor. Ini ditandakan oleh tidak kurang dari 8 – 10 kapal Amerika setiap tahun datang ke pantai Padang dan kembali dengan membawa muatan komoditi kopi (Zed, 1983).
b. Nagari Kurai V Jorong Dalam Perdagangan Komoditi Kopi
Nagari Kurai V Jorong, jika dilihat dari letak geografis, berada di tengah Luhak Agam
(dibagian tengah Sumatera) dan berada dipersimpangan jalan yang
menghubungkan kota-kota di sekitarnya. Letak ini menjadikan kota
Bukittinggi sebagai tempat atau titik pertemuan jalur sirkulasi regional di
Sumatera Bagian Tengah.Letak yang strategis ini telah menjadikan Nagari
Kurai semakin ramai dikunjungi, apalagi dengan mulai mundurnya kekuatan
ekonomi kerajaan Pagaruyung (uhak tanah Datar) yang semula berjaya
dengan penambangan dan perdagangan emas, dan digantikan oleh
berkembangnya perdagangan komoditi kopi yang dihasilkan di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.
Bergesernya komoditi perdagangan di daerah pedalaman Minangkabau dari emas ke kopi, secara tidak langsung memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan Nagari Kurai V Jorong selanjutnya. Dengan berkembangnya perdagangan komoditi kopi ini menjadikan Nagari Kurai sebagai daerah transit sekaligus daerah pengumpul komoditi kopi daerah sekitarnya sebelum dipasarkan ke pelabuhan pantai Barat ataupun ke pantai Timur. Daerah-daerah yang menjadi jalur perdagangan komoditi kopi ini secara tidak langsung berkembang menjadi daerah perdagangan.
Perdagangan komoditi kopi ini mengakibatkan Luhak Agam, terutama sekali Nagari Kurai (Bukittinggi) menjadi semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang. Dengan adanya kegiatan perdagangan ini membentuk suatu wadah transaksi dan aktifitas pasar yang terbentuk dengan sendirinya. Trides (1999), menyebutkan bahwa aktifitas pasar yang terbentuk dengan sendirinya ini yang berada di Padang Gamuak (sekarang jalan Padang Gamuak) dan Gurun Panjang (jalan Hamka sekarang) dinamakan dengan ‘Pakan Kurai’ (daerah ini sekarang dinamakan dengan Kelurahan Pakan Kurai). Di sini munculnya pemberhentian sementara (transit) para kuli dan buruh angkat yang membawa komoditi kopi dari daerah penghasil kopi utama pedalaman Agam Tuo, yaitu dari lereng Gunung Merapi (Nagari Canduang, Lasi, IV Angkat, Baso dan Kamang).
Bergesernya komoditi perdagangan di daerah pedalaman Minangkabau dari emas ke kopi, secara tidak langsung memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan Nagari Kurai V Jorong selanjutnya. Dengan berkembangnya perdagangan komoditi kopi ini menjadikan Nagari Kurai sebagai daerah transit sekaligus daerah pengumpul komoditi kopi daerah sekitarnya sebelum dipasarkan ke pelabuhan pantai Barat ataupun ke pantai Timur. Daerah-daerah yang menjadi jalur perdagangan komoditi kopi ini secara tidak langsung berkembang menjadi daerah perdagangan.
Perdagangan komoditi kopi ini mengakibatkan Luhak Agam, terutama sekali Nagari Kurai (Bukittinggi) menjadi semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang. Dengan adanya kegiatan perdagangan ini membentuk suatu wadah transaksi dan aktifitas pasar yang terbentuk dengan sendirinya. Trides (1999), menyebutkan bahwa aktifitas pasar yang terbentuk dengan sendirinya ini yang berada di Padang Gamuak (sekarang jalan Padang Gamuak) dan Gurun Panjang (jalan Hamka sekarang) dinamakan dengan ‘Pakan Kurai’ (daerah ini sekarang dinamakan dengan Kelurahan Pakan Kurai). Di sini munculnya pemberhentian sementara (transit) para kuli dan buruh angkat yang membawa komoditi kopi dari daerah penghasil kopi utama pedalaman Agam Tuo, yaitu dari lereng Gunung Merapi (Nagari Canduang, Lasi, IV Angkat, Baso dan Kamang).
Para pedagang kopi dengan kuli angkatnya, setelah transit di pakan
Kurai, melanjutkan perjalanan dagangnya menuju daerah pelabuhan di
pantai timur dan barat Sumatera. Dalam jalur perdagangannya (ke pantai barat)
melewati daerah Pandai Sikek, lereng-lereng Gunung Singgalang, Mudik
Padang menuju Gunung Tandikek, dan dari sini para pedagang ada yang
menuju Bandar Pariaman dan ada sebagian yang menuju Bandar Naras. Dengan
singgahnya para pedagang ini di Pakan Kurai, telah membuka mata
pencaharian baru bagi penduduk Kurai, yang sebelumnya bergantung kepada
pertanian, seperti mulai munculnya ‘lepau-lepau’ kecil yang menjual
makanan dan minuman (Trides, 1999). Meningkatnya permintaan kopi untuk
ekspor dengan harga yang semakin menjanjikan, menyebabkan Pakan Kurai
yang berada di tengah-tengah perkampungan semakin ramai dikunjungi oleh
para pedagang perantara dan buruh angkat kopi.
c. Terbentuknya Pakan Kurai (Pasar Kurai)
Melihat
perkembangan aktifitas pasar yang berkembang di Gurun Panjang dan
Padang Gamuak yang merupakan daerah permukiman penduduk, maka para
penghulu Kurai, Pangka Tuo Nagari dari jorong Guguak Panjang dan Aur Birugo, bermufakat untuk
mencarikan tempat yang cukup luas di luar kampung, yaitu untuk tempat
beristirahat bagi pedagang dan tujkang angkat kopi, serta tempat
berjualan makanan dan minuman bagi anak Nagari Kurai V Jorong (Trides,
1999). Berdasarkan rapat para ninik mamak Kurai
yang diadakan di bawah pohon beringin besar di Bukit Kubangan Kabau pada
1820, maka disepakatilah di bukit ini dijadikan tempat berkumpul anak
nagari untuk ‘menukar’ atau berjual beli (Mangiang, 1988 dalam Sati,
1990). Bukit ini dinamakan dengan Bukit Tertinggi atau Bukittinggi, yang
lama kelamaan berkembang menjadi suatu pasar, sehingga akhirnya
diberikan nama Pasar Kurai (pasar orang Kurai) atau Pasar Bukittinggi.
Dengan ditetapkannya Pasar Kurai sebagai tempat berkumpul anak nagari untuk berjual beli, menunjukkan bahwa terbentuknya Pasar Kurai sebagai salah satu perangkat Nagari Kurai yang muncul dari suatu kekuatan ekonomi atau perdagangan komoditi kopi yang sedang berkembang di Minangkabau, terutama sekali di Luhak Agam. Penempatan Pasar Kurai atau disepakatinya pasar di atas Bukit Kubangan Kabau memberikan pengaruh terhadap tatanan spasial nagari yang ada. Pada awalnya orientasi kegiatan nagari yang terpusat pada daerah Balai Adat dan Lapangan Kurai ditarik keluar dari daerah pemukiman penduduk, yaitu di Bukit Kubangan Kabau.
Penempatan pasar yang jauh dari perkampungan penduduk ini, lebih kepada pertimbangan keamanan, karena seringnya terjadi perkelahian. Penyebab perkelahian tidak saja disebabkan oleh perselisihan transaksi dagang, tetapi juga disebabkan oleh permainan adu ayam yang sering memicu perselisihan. Pasar bukan saja tempat berkumpul dan tempat masyarakat menjalankan kewajiban sosialnya, tetapi juga sebagai tempat untuk mencari keramaian (Dobbin, 1992).
Pasar merupakan elemen yang penting dalam perkembangan nagari, karena posisi pasar ini berkembang sesuai dengan perubahan nagari. Pada kota-kota raja Melayu (Perret, 1999), tempat-tempat umum seperti pasar (peken) dan gelanggang ditempatkan di luar kota, kebanyakan terletak di antara sistem pertahanan utama dan sistem pertahanan komplek istana. Di Minangkabau (Dobbin, 1992), pasar didirikan sejauh mungkin dari desa. Lokasi pasar terletak di daerah perpindahan antara satu zone ekologi dengan yang lainnya. Pasar-pasar tersebut terletak di perbatasan antara alam daratan dan alam perbukitan, antara dataran tinggi dan pantai barat. Lokasi pasar-pasar utama diletakkan diperbatasan zone ekonomi, namun ada juga beberapa pasar yang besar dan terkenal terletak tepat dipusat daerah pertanian yang penting, seperti pasar di Padang Luar, yang terletak pada pertemuan sirkulasi daerah pertanian dari arah timur dan barat Luhak Agam.(Bukittinggi)
Dengan ditetapkannya Pasar Kurai sebagai tempat berkumpul anak nagari untuk berjual beli, menunjukkan bahwa terbentuknya Pasar Kurai sebagai salah satu perangkat Nagari Kurai yang muncul dari suatu kekuatan ekonomi atau perdagangan komoditi kopi yang sedang berkembang di Minangkabau, terutama sekali di Luhak Agam. Penempatan Pasar Kurai atau disepakatinya pasar di atas Bukit Kubangan Kabau memberikan pengaruh terhadap tatanan spasial nagari yang ada. Pada awalnya orientasi kegiatan nagari yang terpusat pada daerah Balai Adat dan Lapangan Kurai ditarik keluar dari daerah pemukiman penduduk, yaitu di Bukit Kubangan Kabau.
Penempatan pasar yang jauh dari perkampungan penduduk ini, lebih kepada pertimbangan keamanan, karena seringnya terjadi perkelahian. Penyebab perkelahian tidak saja disebabkan oleh perselisihan transaksi dagang, tetapi juga disebabkan oleh permainan adu ayam yang sering memicu perselisihan. Pasar bukan saja tempat berkumpul dan tempat masyarakat menjalankan kewajiban sosialnya, tetapi juga sebagai tempat untuk mencari keramaian (Dobbin, 1992).
Pasar merupakan elemen yang penting dalam perkembangan nagari, karena posisi pasar ini berkembang sesuai dengan perubahan nagari. Pada kota-kota raja Melayu (Perret, 1999), tempat-tempat umum seperti pasar (peken) dan gelanggang ditempatkan di luar kota, kebanyakan terletak di antara sistem pertahanan utama dan sistem pertahanan komplek istana. Di Minangkabau (Dobbin, 1992), pasar didirikan sejauh mungkin dari desa. Lokasi pasar terletak di daerah perpindahan antara satu zone ekologi dengan yang lainnya. Pasar-pasar tersebut terletak di perbatasan antara alam daratan dan alam perbukitan, antara dataran tinggi dan pantai barat. Lokasi pasar-pasar utama diletakkan diperbatasan zone ekonomi, namun ada juga beberapa pasar yang besar dan terkenal terletak tepat dipusat daerah pertanian yang penting, seperti pasar di Padang Luar, yang terletak pada pertemuan sirkulasi daerah pertanian dari arah timur dan barat Luhak Agam.(Bukittinggi)
. Di samping itu, melalui perdagangan
Tahapan Perkembangan Pola Ruang Kota Bukittinggi
Tambo Koto Jolong
Menurut tambo, atau hikayat asal-usul, Nagari Kurai V Jorong yang kemudian menjadi Kota Bukittinggi, berawal dari suatu koto jolong atau perkampungan awal yang terletak di tengah-tengah Luhak Agam yang sekarang menjadi Kabupaten Agam.
Penduduk Nagari Kurai dikatakan berasal dari Nagari Pariangan, Padang Panjang, ialah sebuah Nagari tertua di Minangkabau, yang terletak di kaki Gunung Merapi sebelah selatan. Mereka turun ke Tanjung Alam (Batusangkar), dan sekata untuk segera mencari tempat menetap. Karena itu tiga belas orang meneruskan perjalanan sampai ke sebuah ranah yang diapit oleh dua buah parik. Ranah inilah koto jolongnya yang dinamai Tigo Baleh, sesuai jumlah tiga belas orang penetap (peneruka) pertamanya. Daerah ini sampai sekarang bernama Tigo Baleh .Para ninik mamak yang Tigo Baleh inilah kemudian bersekata merintis derah pemukiman baru bagi anak kemenakan. Suku koto dan suku selayan membentuk jorong Koto Selayan, yang terdiri dari Koto Layan, yang didiami oleh suku Selayan dan Koto Dalam yang didiami oleh suku Koto. Kemudian terbentuk juga jorong-jorong Mandiangin, Guguak Panjang dan Aur Birugo. Segenapnya bersama-sama membentuk Nagari Kurai Limo Jorong. Penduduknya, ‘urang kurai’, menurunkan penduduk penduduk asli kota Bukittinggi. Nagari ini dikenal juga dengan sebutan Kurai Nan Salingka Aua (Nagari Kurai yang Dikelilingi oeh Aur), karena batas-batas antara jorong-jorong, terutama yang bersebelahan dengan nagari tetangga, ditumbuhi “aua” (aur), sejenis bamboo yang berfungsi sebagai benteng.
Masa Nagari (Tahun …. – akhir abad ke-18)
Nagari
Kurai V Jorong terbentuk oleh sebaran daerah permukiman yang ditandai
oleh letak mesjid jamik, balai adat dan lapangan Kurai yang berada di
tengah jorong-jorong yang ada, serta sebuah pakan, ialah Pasar Kurai. Sampai ke akhir abad ke-18, Nagari-nagari di Sumatera Barat bertumpu pada tambang emas dan pertanian.
Sehabisnya
emas, komoditi utama yang menjadi tulang punggung ekonomi Nagari adalah
kopi, yang menjadikannya pusat pengumpul dan penyalur komoditi
tersebut. Kegiatan perdagangan bergeser dari sekitar balai adat dan
lapangan Kurai ke Pakan Kurai di kawasan Bukit Kubangan Kabau, ialah
tempat Pasar Atas dalam kota
Bukittinggi sekarang. Kawasan ini kemudian berkembang sebagai pusat
kekhalayakan dengan berkembangnya kegiatan perdagangan di Pakan Kurai.
Hal ini ditandai juga dengan semakin ramainya pedagang-pedagang
hinterland di sekitar Nagari Kurai untuk berkunjung / berjualan.
Masa Kolonial (Tahun…-…) (akhir abad ke-18 hingga 1945?)
Belanda membangun Bukit Jirek, yang terletak sebelah barat laut dari Pakan Kurai, sebagai benteng pertahanan menghadapi kaum Paderi, yang juga secara tidak langsung berperan untuk menguasai kegiatan perdagangan yang sedang berkembang. Di kawasan sekitar Pakan Kurai pihak Belanda membangun berbagai sarana yang mendukung penguasaan perdagangan dan pusat pemerintahannya, mulai dari benteng, barak tentara, kantor pemerintah, tangsi (penjara) dan pengembangan Pakan Kurai itu sendiri. Sedangkan pengembangan sarana militer di arahkan ke bagian selatan kota, yaitu kawasan Belakang Balok, yang berada pada pintu gerbang menuju pusat kota dari arah timur dan selatan, sehingga menguasai jalan ke wilayah produksi maupun jalan ke pelabuhan pantai barat. Kawasan militer ini kemudian ditambah dengan dukungan sarana pendidikan. Kawasan Pasar Atas dan Belakang Balok dengan demikian menjadi pusat kota kolonial di tengah-tengah Nagari Kurai V Jorong.
Orde Baru (1970 - kini)
Melalui program pengembangan sarana perdagangan dan transportasi Market Improvement Program (1970) Propinsi Sumatera Barat, di kota Bukittinggi dibangun komplek pertokoan baru pada lokasi Pakan Kurai, karena bangunan pasar dari masa Belanda mengalami kebakaran, dan terminal bus regional Pasar Banto. Di kawasan ini juga terletak kantor-kantor pemerintahan daerah, dan berbagai fungsi-fungsi utama kota, seperti perdagangan dan jasa, pemerintahan dan pendidikan.
Melalui Rencana Induk Kota Bukittinggi 1984-1994, dibangun pusat perkantoran pemerintah di Kawasan Belakang Balok. Hal ini ditandai dengan dipindahkannya Kantor Balai Kota Bukittinggi dari Kawasan Pasar Atas yang semakin berkembang dengan kegiatan perdagangan dan jasa, setelah Bukittinggi dicanangkan sebagai kota wisata pada tahun 1984, ke kawasan Belakang Balok. Pemindahan kantor balai kota ini sekaligus menjadi pemicu perkembangan kawasan Belakang Balok menjadi Kawasan Pusat Pemerintahan daerah kota Bukittinggi. Beberapa pengembangan pembangunan perkantoran pemerintah, pendidikan dan perumahan di arahkan ke kawasan ini. Penarikan fungsi terminal bus regional dan pasar grosir ke kawasan Aur Kuning serta dibangunnya jalan by pass, sekaligus telah mendorong pusat perkembangan baru kota Bukittinggi ke arah bagian timur kota.(Bukittinggi)
Rabu, 21 Maret 2012
Gelar Kepahlawanan untuk Penggadai Negeri kepada Freeport. Pantaskah?!
Ira Oemar
11 November 2011
Kemarin, bertepatan dengan peringatan hari
Pahlawan, ada sekelompok anak muda yang berpakaian putih-putih – ala
anggota Paskibra – lengkap dengan mobil nyentriknya, tampil di acara
pagi sebuah TV swasta. Saat ditanya apa tujuan mereka, perwakilannya
menjawab bahwa mereka sedang memperjuangkan gelar “pahlawan” bagi
almarhum Soeharto, mantan Presiden ke-2 RI. Ini mengingatkan saya pada 3
tahun lalu, saat Partai Golkar ngotot mengusulkan Haji Muhammad
Soeharto untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Keriuhan ini
ditambah lagi dengan iklan PKS menyambut hari pahlawan, yang menampilkan
foto Soeharto sejajar dengan para Pahlawan Nasional lainnya yang telah
diakui kepahlawanannya. Kontroversi menyeruak saat itu. Berbagai debat
pro dan kontra digelar, meski akhirnya sampai tanggal 10 Nopember 2008,
nama H.M. Soeharto tetap tak tercantum dalam Keputusan Presiden RI yang
menetapkan nama-nama Pahlawan Nasional.
Kenapa Soeharto layak dijadikan Pahlawan Nasional?
Para pendukung ide ini umumnya menyuguhkan bukti-bukti keberhasilan
pembangunan semasa Soeharto berkuasa. Memang, tak bisa kita pungkiri
bahwa selama memimpin negara ini, Soeharto membawa banyak kemajuan di
bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan serta pangan dan kesehatan. Di
jaman Soeharto lah Indonesia berhasil swasembada beras dan bahkan
mendapatkan penghargaan dari FAO, Organisasi Pangan Dunia di bawah PBB.
Keberhasilan lainnya adalah di sektor kependudukan. Dulu orang Indonesia
pada umumnya punya keyakinan “banyak anak, banyak rejeki” dan belum
puas jika punya anak dengan jenis kelamin yang sama. Di tengah
puritanisme masyarakat seperti itu, Soeharto memasyarakatkan program KB
dengan slogan “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”. Program ini
boleh dibilang berhasil cukup signifikan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk. Di akhir dekade ‘80-an, banyak pasutri yang mulai sadar bahwa
banyak anak banyak rejeki yang harus dicari. Pemasyarakatan Posyandu dan
Dasa Wisma serta gerakan PKK juga membawa dampak positif di kalangan
kaum Ibu. Mereka jadi lebih sadar kebersihan, kesehatan dan ketrampilan
tata laksana rumah tangga. Setidaknya hal ini bisa membantu menekan
angka kematian Ibu, bayi dan balita. Keberhasilan Posyandu meningkatkan
kesadaran kaum Ibu untuk membawa bayi dan balita mereka antri ikut
immunisasi massal.
Semua fakta ini adalah jejak positif warisan
pemerintahan Soeharto. Tapi bagi saya, itu lebih merupakan kesuksesan
atau keberhasilan seorang pemimpin negara. Bukankah untuk semua
prestasinya itu Soeharto sudah mendapatkan berbagai pernghargaan dari
dalam negeri maupun dari dunia internasional? Apakah setiap seorang
pemimpin negara yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya
lantas dianggap pahlawan? Bukankah memang itu sejatinya tugas dan
kewajiban seoang kepala negara sekaligus pemimpin Pemerintahan :
mensejahterakan rakyatnya dan menjaga pertahanan dan keamanan negaranya.
Justru jika gagal, maka seorang pemimpin negara harus legowo untuk
mundur. Kalo berhasil, bolehlah dipilih kembali. Lagi pula, kenapa
Soeharto bisa seberhasil itu mengelola negara? Mari kita telaah
alasannya.
Setelah berhasil mereduksi jumlah parpol hanya
menjadi 3 saja dan membonsai 2 parpol lain, serta menekankan wajibnya
monoloyalitas bagi PNS, Pegawai BUMN dan keluarga besar ABRI, sangatlah
mudah bagi Soeharto untuk memenangkan Golkar pada 6 kali Pemilu sejak
1971. Jadilah hajatan akbar lima tahunan : Sidang Umum MPR setiap 1 – 11
Maret sebagai ritual pengukuhan kembali Soeharto menjadi Presiden RI
secara aklamasi. Dengan adanya jaminan kesinambungan Pemerintahannya,
Soeharto bisa menyusun program pembangunan yang disebutnya Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahunan), mulai Pelita I sampai Pelita V.
Tiap kali usai dilantik, Soeharto bisa dengan mudah
memilih orang-orang kepercayaannya menjadi pembantunya di Kabinet
Pembangunan. Tak ada parpol lain yang merecoki minta jatah kursi Mentri.
Di kalangan internal Golkar dan ABRI juga tak pernah ada rivalitas
untuk berebut jabatan. Semua bergulir dan seolah tahu diri giliran siapa
yang akan diangkat menjadi apa. Hampir semua Gubernur dan Bupati/
Walikota diisi oleh ABRI, baik aktif maupun purnawirawan. Dwi fungsi
ABRI melegalkan semua itu. Dengan mendudukkan para mantan Pangdam jadi
Gubernur, dan para Letkol / Kolonel jadi Bupati dan Walikota, Soeharto
seolah hendak memstikan keamanan teritorial daerah tersebut dapat
dikendalikan oleh kepala daerah. Setiap kali muncul gesekan di akar
rumput, dengan segera diberangus. Setiap terdengar issu gerakan yang
menyoal kebijakan pemerintahan, langsung dibungkam, kalau perlu
penggagasnya “dihilangkan”. Media massa yang nakal dalam memuat berita,
pembreidelan sudah menanti. Ada koran Sinar Harapan, ada majalah Tempo,
dan masih banyak lainnya yang pernah jadi korban pencabutan SIUP.
Nah, dengan kekuasaan penuh terpusat di tangannya,
tentu mudah bagi Soeharto untuk berprestasi dan memastikan pembangunan
berjalan sesuai dengan rencananya. Soeharto juga menjalin persahabatan
dengan para Taipan yang memiliki gurita bisnis keluarga. Mereka inilah
yang pada akhir dekade ’80-an disebut “konglomerat”. Simbiosis
mutualisme terjalin dengan baik antara Soeharto dan konglomerat
kroni-kroninya. Tentu, konglomerasi bisnis anak-anaknya pun ikut maju
pesat. Dengan berbagai privelege dan proteksi, anak-anaknya bisa
menguasai bisnis. Kita tentu masih ingat akan BPPC (Badan Pengelola
Perdagangan Cengkeh) yang menyengsarakan petani cengkeh dan memakmurkan
Tommy. Juga tentang Kepres Mobnas yang menjadikan Tommy sebagai pemilik
mobil Timor yang diklaim sebagai mobil nasional. Padahal sebenarnya
hanya mobil asli Korea yang masuk k Indonesia tanpa bea masuk dan bebas
pajak. Masih banyak lagi kebijakan sektor perekonomian yang hanya
menguntungkan segelintir pengusaha dan keluarga Soeharto.
Di akhir masa jabatannya, toh rakyat pula yang
harus membayar kemajuan ekonomi semu itu. Perekonomian kita yang
seolah-olah tampak kokoh dan kuat, ternyata rapuh hanya diguncang oleh
anjloknya nilai tukar sejak pertengahan tahun 1997. Krisis moneter yang
melanda Asia, benar-benar meluluhlantakkan perekonomian Indonesia yang
dibangun atas hutang dalam mata uang asing. Di tengah kepanikan,
Soeharto kemudian justru menyerah kepada IMF, dewa penyelamat yang
membawa segebok uang sambil memaksakan setumpuk regulasi keuangan dan
perbankan yang harus dipatuhi Indonesia. Ini bentuk penjajahan ekonomi
abad modern. Tapi Soeharto sudah tak berdaya, sembari Direktur IMF
Michael Chamdesus melipat kedua tangannya dengan senyum meremehkan,
Soeharto terpaksa meneken perjanjian tunduk pada IMF.
Tapi ada lagi warisan lain Soeharto, yang kini jadi
bara api yang memanggang rakyat Papua. Apalagi kalo bukan kontrak karya
Freeport. Kalo menengok kembali sejarah masuknya PT. Freeport Mc. Moran
menjadi penguasa gunung emas terbesar di dunia, kita bisa temui banyak
fakta yang semuanya bermula dari era Pemerintahan Soeharto. Ketika pada
tahun 1963 terjadi Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak
Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalihkannya ke Indonesia,
rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijakan Presiden Soekarno.
Lalu seiring dengan peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno
kepada Jenderal Soeharto pada tahun 1966, terbentuklah pemerintahan baru
yang mendorong investasi sektor swasta. Saat inilah Freeport diundang
ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg.
Tahun berikutnya – 1967, hanya selang setahun Soeharto berkuasa –
ditandatanganilah Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PT.
Freeport Indonesia sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di
atas wilayah 10 km persegi. Tambang emas dan tembaga kita TERGADAI!!!
Inilah bayaran paling mahal yang harus ditebus Soeharto kepada Amerika,
atas jasanya “membantu” memberangus partai komunis dan gerakannya, yang
telah membawa Soeharto ke puncak kursi kekuasaan.
Pada tahun 1985 tambahan cadangan tembaga bawah
tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT. Selanjutnya, pada 1987
setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata
meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada
tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik. Dan puncaknya
pada tahun 1988 dengan ditemukannnya cadangan Grasberg, melipatgandakan
cadangan total menjadi 200 juta ton metrik. Pada tahun 1989 perluasan
hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga
52.000 selesai. Pemerintah Indonesia – dibawah kepemimpinan Soeharto –
mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000
hektar.
Anehnya – atau bahkan gilanya – di saat kajian atas
hasil tambang emas dan tembaga Freeport yang begitu menggiurkan
prospeknya, Soeharto bukannya mencoba merenegosiasi kontrak karya agar
bagian yang diperoleh Indonesia makin besar, dan bahkan seharusnya
kontrak karya yang akan berakhir pada 1997 tidak diperpanjang lagi, agar
Indonesia bisa mengelola sendiri kekayaan alamnya sesuai amanat UUD
1945. Hingga akhir tahun 1991, total cadangan berjumlah hampir 770 juta
ton metrik. Tapi yang dilakukan Soeharto justru sebaliknya : pada 1991
dilakukan penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30
tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama
Pemerintah Indonesia. Praktis PT. Freeport berkuasa atas gunus emas kita
sampai 2041. Lagi-lagi kekayaan bumi Papua digadaikan! Kali ini lebih
panjang masanya.
Kontrak karya pertama yang dilakukan pada tahun
1967, mengacu pada UU Penanaman Modal Asing dan bukan berdasarkan UU
Pertambangan. Hal itulah yang menjadikan porsi bagi hasil untuk
pemerintah tidak seberapa. Sialnya, kontrak karya yang cacat itu, justru
dilanjutkan lagi pada 1991. Ekonom Kwik Kian Gie pernah mempertanyakan
besarnya setoran bagi hasil untuk pemerintah RI dari aktivitas
pertambangan Freeport. Kwik mengacu pada pola bagi hasil 85%:15% yang
biasanya diterapkan pada industri migas. Sedangkan dari penambangan
Freeport kita hanya mendapat 3% untuk emas dan 5% untuk tembaga. Dan
kita rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua, cuma bisa gigit jari,
melongo, saat beratus-ratus truk trailer mengangkut emas keluar dari
tanah asalanya.
Semua kemewahan dan privelege atas hak pengelolaan
tambang yang diperoleh PT. Freeport, tentu bukan tanpa imbalan. Di situs
Wikipedia, ditulis “Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett – seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini – dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto,
dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport.
Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah
anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.”
Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya
sendiri, sementara militer Indonesia memerangi perlawanan separatis
yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai
saling terkait. Tidak ada investigasi resmi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI. Pada sejumlah kasus, kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard – yang pernah bekerja untuk Freeport – dan Abigail Abrash – seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat – memperkirakan sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Semua itu terjadi di era Pemerintahan Soeharto, dan dampaknya sampai
sekarang tak mampu ditanggulangi oleh Presiden-Presiden pasca Soeharto.
Sebab masalah yang ditinggalkan memang tidak mudah. Tanah Papu sudah
terlanjur tergadai, lengkap dengan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Rakyat Papua sudah lama tertindas dan dijajah di tanah
kelahiran mereka sendiri. Mereka mengalami pemiskinan dan pembodohan –
karena dibiarkan begitu saja tanpa pembangunan yang memadai – sehingga
mereka menjadi buruh kasar di rumah sendiri.
Lalu…, dengan fakta-fakta seperti itu,
pantaskah seseorang yang telah menggadaikan kekayaan tanah Papua
dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional? Tegakah kita melihat
saudara-saudara kita di Papua makin geram, seolah kita mengucurkan garam
pada luka mereka yang menganga dan berdarah terus selama
bertahun-tahun? Semoga saja siapapun Presiden RI kini dan kelak,
berpikir 10.000 x sebelum menobatkan Soeharto jadi Pahlawan Nasional.
Kalau Golkar dan PKS tetap ingin menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional,
silakan saja, mungkin Soeharto memang Pahlawan bagi mereka. Tapi jangan
paksa seluruh rakyat Indonesia – termasuk Papua – untuk mengamini
kepahlawanan Soeharto.
Langganan:
Postingan (Atom)