Jumat, 27 April 2012

Sejarah Tan Malaka di Balik Lemari

 
July 28, 2008
Oleh: Febrianti/PadangKini.com
PADA pagi yang masih berkabut di Bukittinggi, kami bersiap berangkat mengunjungi rumah Tan Malaka di Pandan Gadang, Limapuluh Kota, sekitar 80 kilometer ke arah utara Bukittinggi.
Saya duduk di sebelah sejarawan Belanda Harry A. Poeze, seorang peneliti yang mencurahkan waktu selama 30 tahun untuk Tan Malaka. Teman seperjalanan lainnya adalah Zulhasril Nasir, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Roger Tol, direktur KITLV Jakarta dan Eri Ray, seniman Padang yang kami tumpangi mobilnya.

Sementara di belakang, dengan bus pariwisata, ada 28 peserta lain yang akan mengunjungi rumah Tan Malaka, di antaranya sejarawan Mestika Zed, mahasiswa sejarah, mahasiswa seni, dan guru. Keluarga Tan Malaka memperingati 59 tahun kematian pejuang revolusioner itu tepat 21 Februari lalu.
Mobil dan bus mulai beriringan keluar dari halaman hotel tempat kami menginap. Tiba-tiba Harry Poeze berkata kepada Eri Ray.
“Bisakah kita sebentar ke sekolah Tan Malaka, saya ingin melihat lagi sekolah itu dan ambil beberapa gambar,” katanya.
Mobil berbelok ke SMA Negeri 2 Bukittinggi, sementara bus terus melanjutkan perjalanan ke Pandan Gadang. Gedung sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School masih kokoh berdiri, kini berubah menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi.
Dulunya sekolah ini juga dinamai Sekolah Raja, karena hanya anak-anak Belanda dan anak bangsawan pribumi atau anak orang kaya yang bisa bersekolah di tempat ini, salah satunya Tan Malaka.
Tan Malaka sekolah di Kweek School selama enam tahun dan lulus dengan nilai baik, karena dia anak terpintar dari semua teman sekolahnya. Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Belanda.
Harry A. Poeze turun dan memeriksa dinding ruang guru mencari-cari sesuatu.
“Saya mencari prasasti sekolah ini dan prasasti yang menerangkan tentang Nawawi Sutan Makmur yang pernah menjadi satu-satunya guru pribumi di tempat ini,” kata Harry.
Prasasti yang dicari-cari akhirnya ketemu. Prasasti yang menempel di dinding yang menerangkan pendirian Kweek School tahun 1873-1908. Sementara itu satu prasasti lagi yang menerangkan tentang Engku Nawawai Sutan Makmur yang pernah menjadi guru di Kweek School tersembunyi di balik lemari.
Melihat itu, Zulhasril Nasir, penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau geleng-geleng kepala.
“Ini aset lho Pak Guru, kok malah ada di balik lemari, harusnya kita hargai, ini malah orang Belanda yang lebih menghargai bangsa kita,” sindirnya kepada guru-guru yang ada di ruangan itu.
Asrama Tan Malaka Menjadi Asrama Polisi
Kepala SMA Negeri 2 Bukittinggi Muslim mengatakan kepada Harry Poeze, ia sendiri tidak tahu sejarah sekolahnya. Harry tersenyum mendengarnya. Budi Fitriza, guru sejarah sekolah itu malah bercerita, pernah memberi tugas kepada siswanya untuk menuliskan sejarah sekolah itu, dan siswanya membuat laporan berdasarkan bahan di internet.
“Beri alamat email Anda, nanti saya kirimkan foto-foto sekolah ini dan sejarahnya dari Belanda, sekolah ini pantas ditukar namanya menjadi Sekolah Tan Malaka,” kata Harry.
Dari informasi Kepala Sekolah diketahui, asrama yang pernah ditempati Tan Malaka saat bersekolah dulu masih ada, tapi kini sudah menjadi asrama polisi di belakang sekolah.
“Saya senang, sekolah ini masih tetap berdiri, tidak hancur karena perang dan gempa bumi, padahal sudah satu abad, luar biasa,” kata Harry saat kami keluar dari gerbang sekolah.
Kami meneruskan perjalanan ke Payakumbuh sambil memakan kerupuk sanjai, dakak-dakak, dan paniaram, makanan khas Payakumbuh. Harry Poeze mencicipi sepotong paniaram, kue yang terbuat dari tepung beras dan gula aren.
“Rasanya mirip salah satu kue di Belanda,” kata pencinta masakan Indonesia ini.
Harry beruntung karena salah satu anak lelakinya punya istri orang Indonesia dan kini tinggal di Surabaya.
“Tiap ke sini saya diundang makan masakan tradisional Indonesia di rumah mereka,” katanya.
Perjalanan mengunjungi kampung halaman Tan Malaka bagi Harry Poeze juga seperti menapaki jejaknya sendiri. Saat pertama kali berkunjung, pada 1976 ia datang bersama istrinyam Henny Poeze untuk memulai penelitiannya ke kampung Tan Malaka.
“Waktu itu saat sampai di Suliki, sekitar 10 km dari Pandan Gadang, kami bertemu dua serdadu dan melarang kami ke Pandan Gadang, serdadu itu mengatakan desa itu terlarang dimasuki, tetapi saya dan Henny berpura-pura menjadi turis biasa yang tidak tahu bahasa Indonesia, akhirnya kami berhasil ke Pandan Gadang,” kenang Harry.
Di rumah Tan Malaka ia bertemu dengan keponakan Tan Malaka yang menempati rumah tua itu. Di kampung itu ia menggali masa kecil Tan Malaka dengan penduduk yang masih mengenal tokoh itu.
Jejak Tan Malaka di 2 Benua
“Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik, saya harus melintasi 2 benua dan 11 negara untuk mencari jejak sejarahnya, jejaknya ada di mana-mana,” kata Harry memberi alasan ketertarikannya kepada Tan Malaka.
Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk meneliti Tan Malaka. Termasuk 10 tahun untuk menulis buku Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 yang diluncurkan Juli tahun lalu dalam bahasa Belanda.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia saat ini masih diterjemahkan dibagi dalam 6 jilid. Jilid pertama menurut Harry direncanakan akan terbit tahun ini.
Dari Payakumbuh, kami melewati Jalan Tan Malaka, salah satu jalan utama di Kota Payakumbuh arah ke luar kota. Jalan raya ini terbentang sepanjang 48 kilometer dari Pusat Kota Payakumbuh hingga ke Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan dengan aspal mulus ini akan melewati rumah Tan Malaka di Pandan Gadang.
Keluar dari Kota Payakumbuh, pemandangan pedalaman Ranah Minang yang asri mulai terhampar di depan mata. Roger Tol tak berhenti berdecak kagum. Pemandangan yang kami lewati memang amat menawan, lembah dengan sawah yang menghijau terbentang di kaki bukit, dipagari pohon-pohon kelapa. Di belakangnya berlapis-lapis bukit hijau dan biru menjadi latar yang indah ditambah dengan langit berawan putih di atasnya.
“Ini seperti sorga, kenapa Tan Malaka meninggalkan tempat seindah ini?” kata Roger Tol kepada Harry.
Harry tersenyum memandang ke luar jendela. “Dia kan harus pergi merantau,” jawabnya.
Sampai di Pandan Gadang kami disambut keluarga besar Tan Malaka yang mengenakan pakaian adat. Henri, seorang keluarga keturunan Tan Malaka dari garis ibu kini mewarisi gelar Datuk Tan Malaka yang menambah panjang namanya menjadi Henri Datuk Tan Malaka. Ia mengenakan pakaian datuk kuning terang.
Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari jalan raya. Ada rumah adat minang bergonjong dan tua. Di bagian depan teras tertulis ‘Tan Malaka’. Rumah itu adalah rumah adat Tan Malaka yang dihuni turun-temurun oleh keluarganya dari pihak ibu, sesuai garis keturunan materilineal di Minangkabau.
Rumah ini terletak di lembah yang subur. Suasana amat tenang, hanya suara air yang mengaliri sawah yang terdengar. Di tepi sawah dan diapit puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lainnya. Di depan rumah terdapat 11 kolam ikan yang ditumbuhi teratai, dan berair jernih. Di depan rumah menjulang bukit yang hijau ditumbuhi pohon dan perdu.
Acara Tanpa Bantuan Pemerintah
Untuk memperingati kematian Tan Malaka, keluarga besarnya menggelar tahlilan selama satu jam. Keluarga besar Tan Malaka, KITLV dan Pusbitdem (Pusat Studi Penerbit dan Pustaka Demokrasi) menggelar acara ini tanpa bantuan pemerintah. Sehari sebelumnya, mereka juga menggelar seminar di Bukittinggi tentang Tan Malaka.
“Kita mencoba menanam benih, mudah-mudahan ini tumbuh besar,” kata Asmun A. Sjueib, ketua panitia.
Diawali dengan pantun petatah petitih Minangkabau dan irama talempong, museum sederhana itu diresmikan oleh Direktur Nilai Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Magdalia Alfian.
Enam bulan lalu rumah ini masih dihuni Indra Ibnur Ikatama dan keluarganya. Indra adalah satu-satunya keturunan keluarga Tan Malaka dari garis ibu yang tinggal di kampung. Indra adalah cicit saudara perempuan dari ibu Tan Malaka.
Ibu Tan Malaka bernama Sinah, hanya memiliki dua anak laki-laki, Ibrahim Datuk Tan Malaka (Tan Malaka) dan adiknya Kamaruddin. Sinah hanya dua bersaudara dengan Janah, juga perempuan. Indra adalah cicit dari Janah.
Rumah bagonjong milik keluarga Tan Malaka masih kokoh berdiri. Atapnya seng bergonjong 5 dengan banyak jendela berkaca patri. Beberapa kaca sudah pecah. Dindingnya kayu dan anyaman bambu. Lantainya juga kayu.
“Rumah ini dibangun sejak 1826, namun Tan Malaka lahir di rumah surau yang kini sudah menjadi sawah, saat dia diangkat menjadi datuk, baru dibawa ke rumah ini,” kata Ani Zarni salah seorang keluarga Tan Malaka.
Harry Poeze disambut bak teman lama keluarga. Semua keluarga Tan Malaka sudah mengenalnya. Ia menyerahkan bukunya yang beratnya 5 kilogram itu untuk koleksi pustaka.
“Pak Harry sering ke rumah saya di Jakarta, dan tiap kali makan masakan Minang selalu minta catatkan resepnya,resep rendang, resep pangek ikan, pokoknya apa saja yang baru saya disuruh catat,” kata Anna Yuliar, adik Ani Zarni.
Saat naik ke rumah ini, menaiki undakan setinggi 1,5 meter, ruang tamu dan ruang keluarga terlihat sudah menyatu tanpa sekat. Di dalamnya kini ada lemari kaca yang menyimpan buku-buku Tan Malaka dan buku-buku yang membahas Tan Malaka. Koleksi lainnya adalah baju Tan Malaka saat menjadi datuk, piringan hitam dan pemutarnya, tempat tidur dan foto-foto Tan Malaka.
Menurut Ani Zarni, pada masa pemberontakan PRRI, rumah gadang ini pernah menjadi dapur umum untuk pejuang PRRI.
“Saya masih ingat saat itu berumur 10 tahun, kami lari ke bukit dan saya dipaksa menembakkan senapan dari atas bukit,” kata Ani Zarni.
Buku-bukunya Dibakar
Dimasa itulah buku-buku dan barang pribadi Tan Malaka terpaksa banyak yang dibakar, untuk menghilangkan jejak agar tidak disangka pemberontak.
Untuk memastikan kematian Tan Malaka, keluarga Tan Malaka sudah sepenuhnya menyerahkannya kepada Harry Poeze untuk mengurusnya.
“Tahun lalu saya sudah tanyakan tentang kemungkinan pembongkaran kuburan yang kita duga kuburan Tan Malaka, dan pihak keluarga sudah setuju, Menteri membentuk tim, tapi sampai kini masih belum ada penyelesaian,” kata Harry.
Sejarawan Mestika Zed yang ikut dalam rombongan, mengaku terkesan melihat rumah Tan Malaka karena ini kedatangannya yang pertama.
“Saya termasuk orang yang kelam jalan ke sini, dan tempat ini sangat indah, sebuah lembah yang punya ruangan yang sangat sehat dan lingkungan yang jarang didapat, saya terkesan dengan lingkungan ini, tapi juga punya korelasi dengan si tokoh dalam arti memberikan inspirasi untuk seorang tokoh, saya kira lingkungan seperti ini akan melahirkan generasi yang sehat karena lingkungannya enak,” katanya.
Lewat tengah hari kami pulang. Harry mengaku senang sekali karena rumah Tan Malaka kini sudah dijadikan museum.
“Berarti ada kemajuan dan lebih mudah mengumpulkan barang-barang yang berhubungan dengan Tan Malaka,” katanya.
Dalam perjalanan pulang beberapa kali ia minta berhenti dan memotret kampung halaman Tan Malaka yang indah itu. (febrianti)

1 komentar:

  1. Catatan yang indah...mencoba mengungkap jejak...yang dikubur dalam dalam oleh rejim yang tidak mau menghargai sosok Tan Malaka....ah...sejarah kelam menggelayut di atas bumi Nusantara....

    BalasHapus