July 28, 2008
Oleh: Febrianti/PadangKini.com
PADA pagi yang masih berkabut di Bukittinggi, kami bersiap berangkat
mengunjungi rumah Tan Malaka di Pandan Gadang, Limapuluh Kota, sekitar
80 kilometer ke arah utara Bukittinggi.
Saya duduk di sebelah sejarawan Belanda Harry A. Poeze, seorang peneliti
yang mencurahkan waktu selama 30 tahun untuk Tan Malaka. Teman
seperjalanan lainnya adalah Zulhasril Nasir, guru besar Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia, Roger Tol, direktur KITLV Jakarta dan Eri Ray,
seniman Padang yang kami tumpangi mobilnya.
Sementara di belakang, dengan bus pariwisata, ada 28 peserta lain yang
akan mengunjungi rumah Tan Malaka, di antaranya sejarawan Mestika Zed,
mahasiswa sejarah, mahasiswa seni, dan guru. Keluarga Tan Malaka
memperingati 59 tahun kematian pejuang revolusioner itu tepat 21
Februari lalu.
Mobil dan bus mulai beriringan keluar dari halaman hotel tempat kami menginap. Tiba-tiba Harry Poeze berkata kepada Eri Ray.
“Bisakah kita sebentar ke sekolah Tan Malaka, saya ingin melihat lagi sekolah itu dan ambil beberapa gambar,” katanya.
Mobil berbelok ke SMA Negeri 2 Bukittinggi, sementara bus terus
melanjutkan perjalanan ke Pandan Gadang. Gedung sekolah Tan Malaka
semasa di Kweek School masih kokoh berdiri, kini berubah menjadi SMA
Negeri 2 Bukittinggi.
Dulunya sekolah ini juga dinamai Sekolah Raja, karena hanya anak-anak
Belanda dan anak bangsawan pribumi atau anak orang kaya yang bisa
bersekolah di tempat ini, salah satunya Tan Malaka.
Tan Malaka sekolah di Kweek School selama enam tahun dan lulus dengan
nilai baik, karena dia anak terpintar dari semua teman sekolahnya. Ia
lalu melanjutkan sekolahnya ke Belanda.
Harry A. Poeze turun dan memeriksa dinding ruang guru mencari-cari sesuatu.
“Saya mencari prasasti sekolah ini dan prasasti yang menerangkan tentang
Nawawi Sutan Makmur yang pernah menjadi satu-satunya guru pribumi di
tempat ini,” kata Harry.
Prasasti yang dicari-cari akhirnya ketemu. Prasasti yang menempel di
dinding yang menerangkan pendirian Kweek School tahun 1873-1908.
Sementara itu satu prasasti lagi yang menerangkan tentang Engku Nawawai
Sutan Makmur yang pernah menjadi guru di Kweek School tersembunyi di
balik lemari.
Melihat itu, Zulhasril Nasir, penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau geleng-geleng kepala.
“Ini aset lho Pak Guru, kok malah ada di balik lemari, harusnya kita
hargai, ini malah orang Belanda yang lebih menghargai bangsa kita,”
sindirnya kepada guru-guru yang ada di ruangan itu.
Asrama Tan Malaka Menjadi Asrama Polisi
Kepala SMA Negeri 2 Bukittinggi Muslim mengatakan kepada Harry Poeze,
ia sendiri tidak tahu sejarah sekolahnya. Harry tersenyum mendengarnya.
Budi Fitriza, guru sejarah sekolah itu malah bercerita, pernah memberi
tugas kepada siswanya untuk menuliskan sejarah sekolah itu, dan siswanya
membuat laporan berdasarkan bahan di internet.
“Beri alamat email Anda, nanti saya kirimkan foto-foto sekolah ini
dan sejarahnya dari Belanda, sekolah ini pantas ditukar namanya menjadi
Sekolah Tan Malaka,” kata Harry.
Dari informasi Kepala Sekolah diketahui, asrama yang pernah ditempati
Tan Malaka saat bersekolah dulu masih ada, tapi kini sudah menjadi
asrama polisi di belakang sekolah.
“Saya senang, sekolah ini masih tetap berdiri, tidak hancur karena
perang dan gempa bumi, padahal sudah satu abad, luar biasa,” kata Harry
saat kami keluar dari gerbang sekolah.
Kami meneruskan perjalanan ke Payakumbuh sambil memakan kerupuk
sanjai, dakak-dakak, dan paniaram, makanan khas Payakumbuh. Harry Poeze
mencicipi sepotong paniaram, kue yang terbuat dari tepung beras dan gula
aren.
“Rasanya mirip salah satu kue di Belanda,” kata pencinta masakan Indonesia ini.
Harry beruntung karena salah satu anak lelakinya punya istri orang Indonesia dan kini tinggal di Surabaya.
“Tiap ke sini saya diundang makan masakan tradisional Indonesia di rumah mereka,” katanya.
Perjalanan mengunjungi kampung halaman Tan Malaka bagi Harry Poeze
juga seperti menapaki jejaknya sendiri. Saat pertama kali berkunjung,
pada 1976 ia datang bersama istrinyam Henny Poeze untuk memulai
penelitiannya ke kampung Tan Malaka.
“Waktu itu saat sampai di Suliki, sekitar 10 km dari Pandan Gadang,
kami bertemu dua serdadu dan melarang kami ke Pandan Gadang, serdadu itu
mengatakan desa itu terlarang dimasuki, tetapi saya dan Henny
berpura-pura menjadi turis biasa yang tidak tahu bahasa Indonesia,
akhirnya kami berhasil ke Pandan Gadang,” kenang Harry.
Di rumah Tan Malaka ia bertemu dengan keponakan Tan Malaka yang
menempati rumah tua itu. Di kampung itu ia menggali masa kecil Tan
Malaka dengan penduduk yang masih mengenal tokoh itu.
Jejak Tan Malaka di 2 Benua
“Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik,
saya harus melintasi 2 benua dan 11 negara untuk mencari jejak
sejarahnya, jejaknya ada di mana-mana,” kata Harry memberi alasan
ketertarikannya kepada Tan Malaka.
Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk meneliti Tan Malaka.
Termasuk 10 tahun untuk menulis buku Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan,
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 yang diluncurkan Juli
tahun lalu dalam bahasa Belanda.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia saat ini masih diterjemahkan dibagi
dalam 6 jilid. Jilid pertama menurut Harry direncanakan akan terbit
tahun ini.
Dari Payakumbuh, kami melewati Jalan Tan Malaka, salah satu jalan
utama di Kota Payakumbuh arah ke luar kota. Jalan raya ini terbentang
sepanjang 48 kilometer dari Pusat Kota Payakumbuh hingga ke Koto Tinggi
di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan dengan aspal mulus ini akan melewati
rumah Tan Malaka di Pandan Gadang.
Keluar dari Kota Payakumbuh, pemandangan pedalaman Ranah Minang yang
asri mulai terhampar di depan mata. Roger Tol tak berhenti berdecak
kagum. Pemandangan yang kami lewati memang amat menawan, lembah dengan
sawah yang menghijau terbentang di kaki bukit, dipagari pohon-pohon
kelapa. Di belakangnya berlapis-lapis bukit hijau dan biru menjadi latar
yang indah ditambah dengan langit berawan putih di atasnya.
“Ini seperti sorga, kenapa Tan Malaka meninggalkan tempat seindah ini?” kata Roger Tol kepada Harry.
Harry tersenyum memandang ke luar jendela. “Dia kan harus pergi merantau,” jawabnya.
Sampai di Pandan Gadang kami disambut keluarga besar Tan Malaka yang
mengenakan pakaian adat. Henri, seorang keluarga keturunan Tan Malaka
dari garis ibu kini mewarisi gelar Datuk Tan Malaka yang menambah
panjang namanya menjadi Henri Datuk Tan Malaka. Ia mengenakan pakaian
datuk kuning terang.
Rumah Tan Malaka hanya sekitar 100 meter menuruni jalan setapak dari
jalan raya. Ada rumah adat minang bergonjong dan tua. Di bagian depan
teras tertulis ‘Tan Malaka’. Rumah itu adalah rumah adat Tan Malaka yang
dihuni turun-temurun oleh keluarganya dari pihak ibu, sesuai garis
keturunan materilineal di Minangkabau.
Rumah ini terletak di lembah yang subur. Suasana amat tenang, hanya
suara air yang mengaliri sawah yang terdengar. Di tepi sawah dan diapit
puluhan pohon kelapa yang tinggi, terpencil dari rumah lainnya. Di depan
rumah terdapat 11 kolam ikan yang ditumbuhi teratai, dan berair jernih.
Di depan rumah menjulang bukit yang hijau ditumbuhi pohon dan perdu.
Acara Tanpa Bantuan Pemerintah
Untuk memperingati kematian Tan Malaka, keluarga besarnya menggelar
tahlilan selama satu jam. Keluarga besar Tan Malaka, KITLV dan Pusbitdem
(Pusat Studi Penerbit dan Pustaka Demokrasi) menggelar acara ini tanpa
bantuan pemerintah. Sehari sebelumnya, mereka juga menggelar seminar di
Bukittinggi tentang Tan Malaka.
“Kita mencoba menanam benih, mudah-mudahan ini tumbuh besar,” kata Asmun A. Sjueib, ketua panitia.
Diawali dengan pantun petatah petitih Minangkabau dan irama
talempong, museum sederhana itu diresmikan oleh Direktur Nilai Sejarah
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Magdalia Alfian.
Enam bulan lalu rumah ini masih dihuni Indra Ibnur Ikatama dan
keluarganya. Indra adalah satu-satunya keturunan keluarga Tan Malaka
dari garis ibu yang tinggal di kampung. Indra adalah cicit saudara
perempuan dari ibu Tan Malaka.
Ibu Tan Malaka bernama Sinah, hanya memiliki dua anak laki-laki,
Ibrahim Datuk Tan Malaka (Tan Malaka) dan adiknya Kamaruddin. Sinah
hanya dua bersaudara dengan Janah, juga perempuan. Indra adalah cicit
dari Janah.
Rumah bagonjong milik keluarga Tan Malaka masih kokoh berdiri.
Atapnya seng bergonjong 5 dengan banyak jendela berkaca patri. Beberapa
kaca sudah pecah. Dindingnya kayu dan anyaman bambu. Lantainya juga
kayu.
“Rumah ini dibangun sejak 1826, namun Tan Malaka lahir di rumah surau
yang kini sudah menjadi sawah, saat dia diangkat menjadi datuk, baru
dibawa ke rumah ini,” kata Ani Zarni salah seorang keluarga Tan Malaka.
Harry Poeze disambut bak teman lama keluarga. Semua keluarga Tan
Malaka sudah mengenalnya. Ia menyerahkan bukunya yang beratnya 5
kilogram itu untuk koleksi pustaka.
“Pak Harry sering ke rumah saya di Jakarta, dan tiap kali makan
masakan Minang selalu minta catatkan resepnya,resep rendang, resep
pangek ikan, pokoknya apa saja yang baru saya disuruh catat,” kata Anna
Yuliar, adik Ani Zarni.
Saat naik ke rumah ini, menaiki undakan setinggi 1,5 meter, ruang tamu
dan ruang keluarga terlihat sudah menyatu tanpa sekat. Di dalamnya kini
ada lemari kaca yang menyimpan buku-buku Tan Malaka dan buku-buku yang
membahas Tan Malaka. Koleksi lainnya adalah baju Tan Malaka saat menjadi
datuk, piringan hitam dan pemutarnya, tempat tidur dan foto-foto Tan
Malaka.
Menurut Ani Zarni, pada masa pemberontakan PRRI, rumah gadang ini pernah menjadi dapur umum untuk pejuang PRRI.
“Saya masih ingat saat itu berumur 10 tahun, kami lari ke bukit dan
saya dipaksa menembakkan senapan dari atas bukit,” kata Ani Zarni.
Buku-bukunya Dibakar
Dimasa itulah buku-buku dan barang pribadi Tan Malaka terpaksa banyak
yang dibakar, untuk menghilangkan jejak agar tidak disangka
pemberontak.
Untuk memastikan kematian Tan Malaka, keluarga Tan Malaka sudah sepenuhnya menyerahkannya kepada Harry Poeze untuk mengurusnya.
“Tahun lalu saya sudah tanyakan tentang kemungkinan pembongkaran
kuburan yang kita duga kuburan Tan Malaka, dan pihak keluarga sudah
setuju, Menteri membentuk tim, tapi sampai kini masih belum ada
penyelesaian,” kata Harry.
Sejarawan Mestika Zed yang ikut dalam rombongan, mengaku terkesan
melihat rumah Tan Malaka karena ini kedatangannya yang pertama.
“Saya termasuk orang yang kelam jalan ke sini, dan tempat ini sangat
indah, sebuah lembah yang punya ruangan yang sangat sehat dan
lingkungan yang jarang didapat, saya terkesan dengan lingkungan ini,
tapi juga punya korelasi dengan si tokoh dalam arti memberikan inspirasi
untuk seorang tokoh, saya kira lingkungan seperti ini akan melahirkan
generasi yang sehat karena lingkungannya enak,” katanya.
Lewat tengah hari kami pulang. Harry mengaku senang sekali karena rumah Tan Malaka kini sudah dijadikan museum.
“Berarti ada kemajuan dan lebih mudah mengumpulkan barang-barang yang berhubungan dengan Tan Malaka,” katanya.
Dalam perjalanan pulang beberapa kali ia minta berhenti dan memotret kampung halaman Tan Malaka yang indah itu. (febrianti)