Dikarang oleh : DR. Mestika Zed
Politics of Memory.
Sjafruddin Prawiranegara dalam Dua Zaman: PDRI dan PRRI.
Oleh: Mestika Zed
Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Universitas Negeri Padang
SEJARAH memerlukan peristiwa.
Peristiwa memerlukan tokoh.
Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa.
Bagi yang tak
tewas dalam peristiwa, nasibnya akan dipertimbangkan lewat sejarah.
Masalahya sejarah yang mana?
Sejarah formal? Atau
sejarah publik? Oleh karena politik yang mendefinisikan
syarat-syarat menjadi tokoh
”pahlawan” didasarkan pada ideologi, maka ia menjadi urusan
”politik ingatan” (politics
of memory) rejim yang berkuasa.
Dalam konstruksi ”politik ingatan” semacam itu, ada tokoh yang harus diingat dan diulang-ulang mengingatnya, bahkan dengan
berbagai cara (buku, film, bangunan dan arsip), dan pada saat yang sama ada pula yang wajib dilupakan.
Ada tokoh yang pada
suatu zaman dielu-elukan, kemudian hilang atau dihilangkan dari peredaran memori bangsa.
Mengapa bisa demikian?
Tulisan
ini akan membicarakan Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), salah seorang tokoh yang dilupakan, kalau bukannya sengaja
dihilangkan dalam bingkai ”politik ingatan” sejarah bangsa.
Ada dua peristiwa historis dalam sejarah bangsa, yang terkait dengan nama tokoh ini dan yang membuat dirinya diingat dan
sekaligus dilupakan.
Keduanya berlangsung dalam era berbeda, yang satu
PDRI, yang lain
PRRI.
Peristiwa I, PDRI (1948-1949).
Peristiwa itu disebut Era PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) tahun 1948-1949, berkaitan dengan sejarah perjuangan
kemerdekaan melawan Belanda, saat rejim kolonial melancarkan agresi militernya yang kedua bulan Desember 1948.
Akibatnya,
nyaris fatal.
Mengapa? Bukan saja karena ibukota RI (Yogyakarta), jatuh ke tangan Belanda, tetapi pucuk pimpinan RI
(Sukarno-Hatta) beserta sejumlah menteri ditangkap Belanda pula.
Sekedar ilustrasi mutakhir, bisakah Anda, pembaca yang
budiman, membayangkan apa jadinya kalau Tripoli jatuh ke tangan musuh Khadafy dan ia sendiri ditangkap!
Begitulah
kira-kira analoginya nasib Republik era PDRI.
Maka tidak heran jika Belanda waktu itu menganggap RI yang diproklamasikan
17 Agustus 1945 itu sudah bubar, tamat riwayatanya.
Namun di saat yang sangat genting itu, darurat, Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Hatta, yang sedang
berada di Bukittinggi, tampil ke depan memimpin Republik menggantikan Sukarno-Hatta.
Bukan kebetulan ia berada di sana,
sebab sudah
merupakan ’skenario besar’ dalam perang gerilya waktu itu bahwa jika Jawa sewaktu-waktu diduduki Belanda,
kepemimpinan Republik harus berada di Sumatera.
Dan Sjafruddin Parwiranegara, waktu itu sudah berada di sana.
Beliau bukan saja mendapat mandat untuk memimpin RI dari Sukarno-Hatta yang ditawan Belanda, tetapi Panglima Jendral
Sudirman, yang bergerilya di hutan-hutan di Jawa pun mematuhi perintah dari PDRI yang berpusat di Sumatera.
Sebagai ketua/ presiden RI di masa darurat, Sjafruddin memimpin perjuangan RI dari Bukittinggi, kemudian berpindah-pindah
tempat ke pedalaman Sumatera Barat.
Akhirnya, PDRI dengan dukungan internasional, memaksa Belanda membebaskan pemimpin RI
yang ditawan dan mengembalikan mereka ke ibukota Yogya pada pertengahan Juli 1949. (Episode ini dalam sejarah bangsa dikenal
dengan ”Yogya Kembali”).
Sejak itu rangkaian perundingan menuju pengakuan kedaulatan RI tinggal menunggu waktu.
Peristiwa II: PRRI (1958-1961).
Era PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) berlangsung sekitar 10 tahun setelah PDRI (1958-1961).
Peristiwanya
terkait dengan pergolakan daerah melawan rejim Jakarta.
Tahun 1950-an Indonesia mulai belajar mengurus negeri sendiri.
Sebagai bangsa yang baru merdeka, banyak bengkalai paska perang yang harus diselesaikan.
Suhu politik nasional pun
memanas.
Partai-partai berseteru merebut kursi kekuasaan.
Maka yang terjadi ialah gonta-ganti kabinet tiap
sebentar.
Hampir tiap tahun, bahkan ada yang tak sampai usianya satu tahun, kabinet diganti lagi.
Karena pusat terlalu
sibuk berpolitik, maka pembangunan daerah menjadi terlantar.
Lalu muncul dewan-dewan daerah di Luar Jawa yang mencoba menolong diri sendiri untuk membangun daerah mereka.
Rejim
Jakarta jadi ciut nyalinya, sebab semangat otonomi di daearh muncul secara alami dan itu dapat membuat berkurangnya
ketergantungan daerah terhadap pusat.
Maka berbagai kebijakan semena-mena oleh pusat makin menjadi-jadi.
Presiden Sukarno, misalnya, mengangkat dirinya sendiri sebagai ketua formatur untuk menyusun
kabinet baru, mengangkat dirinya sebagai ’presiden seumur hidup’; ia tidak hanya membiarkan PKI masuk kabinet padahal sudah
diingatkan, tetapi semakin memperlakukan partai komunis itu sebagai ’anak-emas’.
Ia pun semakin membawa pusat menjadi semakin sentralistik di satu pihak dan condong daerahisme berbau Jawa di lain pihak.
Yang lebih pedih bagi daerah ialah, sementara pembangunan daerah luar Jawa terabaikan, sebagian besar produk luar Jawa
(tambang, perkebunan dan produk lokal lainnya) dikuras untuk diangkut ke pusat atau ke Jawa.
Begitu pula halnya kebanyak
jabatan sipil dan militer tingkat tinggi, baik di pusat maupun di daerah diisi oleh orang Jawa.
Perasaan diperlakukan
dikriminatif, tidak adil menyulut sentimen anti-Jawa.
Wapres Hatta pun gerah dengan prilaku politik Sang Presiden yang
makin semena-mena dan tak terkontrol lagi, sehingga ia minta mundur dari kursi Wapres tahun 1956.
Kemunculan PRRI dapat dilihat sebagai puncak pernyataan ketidakpuasan dari dewan-dewan perjuangan di luar Jawa ? dengan nama
berbeda-beda di masing-masing daerah ? terhadap rejim Sukarno di Jakarta yang semakin otoriter dan yang didukung PKI.
Dewan-dewan perjuangan di luar Jawa itu sudah lama memperingatkan agar Sukarno kembali ke jalan konstitusi, tetapi rupanya
tidak diindahkan.
Puncaknya, ya itu tadi: lahir PRRI.
Dewan-dewan luar di Jawa itu menyatukan barisan, lalu
megeluarkan peringatan keras (ultimatum) tanggal 10 Februari 1958 dan lima hari kemudian mereka medeklerasikan lahirnya
PRRI.
Di situ, sekali lagi, Sjafruddin Prawiranegara tampil ke depan memimpin RI sebagai ’pemerintahan tandingan’ atas RI
pimpinan Sukarno di Jakarta.
Peringatan keras dari dewan daerah itu bukannya ditanggapi dengan jalan dialog dan berunding, tetapi dengan memerangi
PRRI.
Kelompok militer, yang dikirim pusat, sebagian sudah disusupi PKI, menyerbu kedudukan PRRI tanpa
ampun.
Semua angkatan (darat, laut dan udara plus kepolisian dan brimob) dikerahkan.
Kedudukan PRRI di Padang, Bukittinggi, dan Riau dibombardir.
Pada saat yang sama rekan-rekan mereka di dewan daerah di
Sulawesi (Permesta), yang sudah bergabung dengan PRRI juga mengalami pukulan yang sama.
Menurut catatan sejarah, inilah
eksperimen militer terbesar pertama paska perang kolonial.
Sejak itu terjadilah
”perang saudara”, sesama
pejuang yang tadinya sama-sama melawan musuh bersama: Belanda.
Rejim Jakarta menamakan PRRI sebagai ’pemberontakan’, sementara pihak PRRI menyebutnya sebagai ikhtiar terakhir atau koreksi
total terhadap ’rejim inkonstitusional’.
Tergantung dari sudut pandang mana istilah itu digunakan.
Istilah yang netral secara akademik adalah ”perang saudara ” (civil war) karena masing-masing merasa yakin tengah
memperjuangkan (ideologi) RI.
Tidak ada klaim pemisahan dalam perjuangan PRRI.
Apa lagi menegasikan simbol-simbol kenegaraan, konsititusi, bendera dan bahkan juga tidak ada klaim wilayah di dalamnya.
Aktor dan Sistem dalam kedua peristiwa itu, PDRI dan PRRI, aktornya sama: Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin
pemerintahan, tetapi dalam suasana dan sistem yang sama sekali berbeda.
Dalam peristiwa pertama (PDRI) Indonesia berada
dalam suasana ”perang kolonial”, melawan musuh bersama: Belanda.
Penjajah itu ahirnya bisa diusir dari bumi Indonesia
setelah dipaksa menyerahkan kedaulatan Indonesia di penghujung 1949.
Dalam peristiwa kedua (PRRI), yang terjadi pada dasarnya ialah ’perang-saudara’ antara sesama pejuang yang berseberangan
jalan.
Yang satu menjadi pendukung rejim Sukarno, umumnya Jawa (tidak termasuk Sunda); yang lainnya mendukung PRRI.
Dalam kedua pemerintahan itu kata RI tetap dipertahankan, karena yang digugat pengikut PRRI ialah sistem pemerintahan yang
otoriter dan mentaliteit feodal pusat dan banyak perangai politiknya yang sudah keluar dari cita-cita kemerdekaan atau
konstitusi.
Di mata pembela PRRI, rejim Jakarta seakan-akan memutar bandul sejarah kembali ke sistem kolonial.
Apa pun
namanya, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan lain-lain, tetapi kalau prilaku politiknya masih berlaku
diskriminatif, menggantung daerah, ketidak-adilan dan terlebih lagi eksploitatif terhadap rakyat daerah, itu tetap
kolonial namanya.
Pastilah ada sesuatu yang salah dengan pemerintah pusat di Jakarta dan itu telah diingatkan berulangkali. Namun tetap buntu.
Maka tidak heran jika tahun 1950-an adalah tahun-tahun ’pergolakan daerah’.
Antara tahun 1950 sampai awal 1960-an, tercatat setidaknya 8 (delapan) gerakan perlawanan menentang pusat.
Masing-masing
memiliki karaktersitik berbeda-beda, baik latar belakang, maupun proses dan tujuan akhirnya.
Dan PRRI hanyalah salah satu
daripadanya.
Suatu hal yang pasti ialah bahwa
PRRI bukan gerakan saparatis dan bukan pula pemberontakan untuk
menumbangkan dasar-dasar negara, melainkan gerakan koreksi total terhadap rejim otoritarianisme.
Dalam sistem semacam
itu, yang berlaku hanyalah adagium ”the king do no wrong” (penguasa selalu benar).
Maka setiap kritik yang diarahkan ke
sumbu kekuasaan akan berbalik jadi boomerang.
Tetapi Sjafruddin dengan dukungan pemimpin sipil dan militer serta rakyat
di daerah, adalah tokoh pemberani yang konsisten; tidak peragu dan sigap dalam mengambil keputusan di saat kritis.
Dialah
pemimpin sejati, yang merepresentasikan kerbau Minangkabau yang tangkas dalam legenda sejarah kampung halaman orang Sumatera
Barat itu.
Sjafruddin, seperti halnya dengan para pemimpin PRRI dan rakyat daerah yang berada di belakangnya, masih tetap berpegang
teguh pada pemikiran bahwa setelah merdeka, Indonesia harus menjadi bangsa yang ‘modern’, dalam arti sejajar dengan Barat dan
bukan feodalisme baru yang kian marak.
Bahasa Pak Syaf, demikian panggilan akrabnya, selalu menekankan ide-ide progresif
menentang feodalisme, keharusan adanya mobilitas sosial yang radikal, tetapi mengapa keadaan sedemikian runyam?
Kesalahan
itu tentu tak sepatutnya ditimpakan kepada pusat semuanya.
Hanya saja mengapa bangsa yang baru merdeka itu harus
menyelesaikan urusan dengan berperang dan bukan berunding cara Minangkabau?
Salah satu jawabannya sistem politik rejim
otoritarianisme yang tak mau mendengan aspirasi akar-rumput.
Pembelajaran Sejarah
Bagaimanakah kita harus mencermati kembali pengalaman sejarah bangsa yang paradoks itu?
Yang satu, PDRI, kisah heroik
yang menyelamatkan RI dari kehancurannya, sehingga ia pantas diperingati sebagai “hari bela negara”, seperti yang telah
diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2006 lalu itu.
Yang lain, PRRI, kisah tragis, yang menurut pelakunya juga untuk menyelamatkan RI dari tirani kekuasaan rejim pusat yang
menindas, tetapi gagal.
Jika hampir semua pihak menyesali terjadinya konflik bersenjata sesama saudara setanah air, yang
amat serius itu, baik pada masa itu, maupun di dibelakang hari, pihak manakah yang harus dipersalahkan?
Siapakah
sebenarnya yang diuntungkan dan sebaliknya siapakah yang dirugikan? Salah satu jawabannya terletak pada sejarah yang lebih
kemudian, yang membuktikan klaim PRRI benar adanya.
Sukarno dan PKI akhirnya harus menerima takdirnya.
Dan PRRI itu sendiri dalam satu lain hal
adalah Reformasi avant le latere, reformasi yang kelewat dini, mendahului zamannya.
Kini setelah puluhan tahun berlalu, di saat akal sehat kita mulai pulih, sejarah yang benar mestinya tidak ditentukan oleh
rejim yang berkuasa, sebab rejim terus berubah, dan kriteria nilai siapa sang pemenang dan pecundang juga mengalami
perubahan.
Tetapi dengan politics of memory yang memberi ruang pada ingatan kolektif, atau ingatan publik (vernacular
memory).
Dalam konstruksi semacam itu,
ukuran ketokohan seseorang bukan didasarkan pada konsesus politik sang pemenang, terlembaga
dan diperingati secara reguler, melainkan pada penggalian pengalaman pelaku (tangan pertama), biasanya dalam lingkup
komunitas yang lebih luas dan karena itu lebih intim dan lebih otentik.
Dalam konstruksi semacam itu, penghargaan
terhadap tokoh tak lagi sekedar menjadi "ruang hening cipta" dalam upacara, melainkan untuk meluaskan batin kemanusiaan kita
dalam menatap masa depan peradaban bangsa yang telah diperjuangkan para pahlawan di masa lalu