Rabu, 20 Juni 2012

‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto (1)

In HistoriaPolitik on May 20, 2012 at 6:22 PM
SEPERTI nasib Julius Caesar 15 Maret 44 SM, Jenderal Soeharto ‘kehilangan’ kekuasaan 21 Mei 1998 melalui rangkaian konspirasi dari mereka yang untuk sebagian adalah orang-orang yang pernah dibesarkan dan diikutkan dalam rezimnya. Meski, pengakhiran kekuasaan itu tidak ekstrim dalam wujud suatu drama pembunuhan.

INTREPRETASI PEMBUNUHAN JULIUS CAESAR, LUKISAN VINCENZO CAMUCCINI, 1798. “Situasi konspirasi terhadap Julius Caesar, lebih jelas dan lebih hitam-putih. Maka Marcus Antonius dan Lepidus bisa mengejar para konspiran yang lebih jelas apa dan siapanya. Sedangkan situasi menuju kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya pada bulan Mei tahun 1998, lebih abu-abu. Tidak terlalu jelas, siapa mengkhianati siapa, dan siapa membela siapa. Anatomi konspirasinya serba samar-samar”. (Download Wikipedia)
Menjadi tepat juga ‘firasat’ yang tersirat dalam ucapan Siti Suhartinah Soeharto, ketika mengomentari kejatuhan Presiden Ferdinand Marcos di Filipina, dalam suatu wawancara dengan Sarwono Kusumaatmadja dan Rum Aly untuk ‘Media Karya’ 10 Maret 1986. Nyonya Tien waktu itu, dalam suatu percakapan ‘samping’ yang di luar konteks pertanyaan wawancara, kurang lebih menyiratkan ‘pikiran’ dan ‘pengetahuan’ pribadinya tentang keterlibatan ‘orang dalam’ sekitar Marcos sendiri dalam kejatuhan itu. “Kasian yaa…, tapi begitulah…., mau diapakan lagi”.Lalu Ibu Tien menyambung, ia telah meminta Pak Harto untuk tak lagi mencalonkan diri sebagai Presiden, dan untuk itu  sudah ada yang disiapkan, katanya sambil menoleh ke arah Sudharmono SH yang ikut mendampingi wawancara. Percakapan ‘samping’ itu tidak berlanjut. Sudharmono SH  pun diam saja.
Persamaan dan perbedaan. PERJALANAN Jenderal Soeharto menuju kekuasaan pun banyak kemiripannya dengan jenjang yang dilalui Caesar. Sepulang ke Roma dari ‘ekspedisi’ militer di Mesir, Julius Caesar mengalahkan Pompeius yang memiliki dukungan Senat. Sekaligus Julius mengungguli baik Pompeius maupun Senat, sehingga praktis ia menjadi penguasa tunggal. Tetapi pada sisi tertentu Julius Caesar adalah diktator yang menampilkan beberapa kebaikan. Ia menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bagi kalangan miskin. Administrasi negara yang lebih efisien dan efektif. Memberantas kaum lintah darat. Menegakkan hukum dengan ketat untuk memberantas kejahatan. Mencoba mengendalikan gaya komsumtif, sikap pamer dan boros dari kaum kaya. Mengekang hasrat pembangunan yang sekedar monumental, dan mengutamakan pembangunan jalan raya yang lebih dibutuhkan jazirah Italia.


Tetapi sebaliknya, bila Soeharto tak mudah memaafkan mereka yang pernahmengecewakannya di masa lampau, Julius Caesar justru lebih mudah memaafkan musuh-musuh lama seperti Cicero misalnya. Ia juga mengabulkan permohonan ampun Marcus Junius Brutus yang pernah berseberangan karena berpihak kepada Pompeius dalam perang saudara Caesar dengan Pompeius. Julius Caesar menjadikan Marcus Junius Brutus sebagai Gubernur Gaul dan kemudian menerimanya sebagai bagian terpercaya di lingkaran dalam kekuasaannya. Di sini ada cerita samping. Saudara perempuan ibunda Junius Brutus pernah dijadikan isteri simpanan Julius Caesar. Sehingga ada spekulasi bahwa Marcus Junius Brutus sebenarnya adalah anak biologis Julius Caesar.
Pada makan malam 14 Maret 44 SM, bersama Julius Caesar yang didampingi Decimus Brutus Albinus, Lepidus –seorang letnan utama Julius Caesar selain Marcus Antonius– bertanya “Cara mati bagaimanakah yang terbaik?”. Julius Caesar menjawab, “Cara mati yang terbaik adalah mati yang tak disangka-sangka”. Esok harinya, Julius Caesar memang mengalami kematian yang tak disangka olehnya, tetapi ‘diketahui’ oleh sekitar 40 Senator yang terlibat konspirasi yang seluruhnya diperkirakan melibatkan 60 orang diTheatre of Pompey gedung tempat berkumpulnya para Senator.
Dikisahkan dalam beberapa buku, pada pagi hari 15 Maret itu, Calpurnia isteri Caesar mencegah suaminya pergi, karena semalam bermimpi melihat suaminya tersungkur berlumuran darah. Tabib dan beberapa teman dekatnya juga melarangnya pergi, karena ada desas-desus tentang konspirasi jahat terhadap dirinya. Semua tak diindahkan Julius Caesar, karena Marcus Junius Brutus yang dianggap bagaikan anak dan teman setia, mengatakan padanya, “Apa-apaan ini semua? Apakah anda sebagai seorang laki-laki sejati, harus memperhatikan mimpi seorang perempuan dan desas-desus murahan dari sekelompok orang pandir? Dan karenanya melecehkan Senat dengan tidak datang padahal mereka menghormatimu dengan mengundangmu?”.
Julius Caesar akhirnya tetap datang ke Theatre of Pompey, dikawal Marcus Antonius, letnan utamanya yang tangguh. Tapi seorang konspiran, Trebonius, dengan cerdik mencegat Marcus Antonius di pintu masuk dan melibatkannya dengan suatu percakapan yang seakan-akan penting. Julius Caesar masuk tanpa pengawal dan langsung duduk di sebuah kursi yang bersepuh emas. Begitu ia duduk, Tillius Cimber maju ke depan menyampaikan tuntutan agar Caesar memanggil kembali saudara Tillius dari pembuangan. Ketika Caesar menolak tuntutan itu, Tillius mencengkeram jubah Caesar dan menariknya. Ini sebuah isyarat. Sejumlah senator lainnya datang mengerubungi. Kepada Tillius, Caesar membentak, “Kenapa? Ini suatu kekerasan!”. Gaius Servilius Casca yang berada paling dekat ke Caesar, mencabut dan menusukkan belati ke leher Caesar, tetapi meleset. Cimber mencekal tangan Caesar, tetapi Caesar bangkit dari duduknya dan berhasil mendorong Cimber sampai jatuh ke lantai. Lalu datang Cassius mendekat dan berhasil melukai wajah Caesar. Dan ketika Marcus Junius Brutus juga maju menusukkan belati –mengenai paha– Julius Caesar berteriak dalam bahasa Yunani, “Engkau juga, anakku?!”, “Kai su, teknon?” (Menurut naskah Shakespeare, teriakan Caesar adalah “Thou too, my son?”. Versi latin, “Et tu Brute?”).
Setelah itu, bertubi-tubi serangan dialami Caesar, sehingga menderita tak kurang dari 23 luka. Paling mematikan adalah tusukan di dada Caesar, yang kemungkinan besar dilakukan Marcus Junius Brutus. Julius Caesar tersungkur mati di bawah patung Pompeius.Para Senator itu menuduh Julius Caesar telah menjadi diktator dan berlaku sebagai seorang tiran dan menjadikan alasan itu sebagai pembenaran ideal atas tindakan mereka. Sementara itu, terhadap Jenderal Soeharto, berlaku anggapan bahwa separuh dari masa kekuasaannya yang berlangsung 32 tahun, pada hakekatnya dijalankan dengan menggunakan tangan besi berlapiskan sarung tangan beludru. Program-program yang mengutamakan kepentingan rakyat memang masih terasa di sana sini, namun di belakang layar merajalela usaha pengutamaan kepentingan sekelompok orang saja, yakni para kroni, melalui pola korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berbeda dengan para pengikut Soeharto yang pada umumnya langsung tiarap setelah sang Jenderal mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, dua panglima Julius Caesar, Markus Antonius dan Lepidus, melakukan pengejaran pada para pembunuh Caesar, setidaknya sampai tahun 36 SM. Namun koalisi Marcus Antonius, Lepidus dan tokoh ‘lemah’ Octavianus –cucu keponakan yang disebutkan sebagai pewaris Julius Caesar– berakhir saat perbedaan kepentingan menajam. Setelah Soeharto mundur, Wakil Presiden BJ Habibie naik menjadi Presiden, meskipun tuntutan para ujung tombak anti Soeharto yang muncul di ujung proses, yakni kelompok mahasiswa, sebenarnya BJ Habibie pun harus mundur, satu paket dengan Soeharto.
Hitam-putih dan abu-abu. SITUASI konspirasi terhadap Julius Caesar, lebih jelas dan lebih hitam-putih. Maka Marcus Antonius dan Lepidus bisa mengejar para konspiran yang lebih jelas apa dan siapanya. Sedangkan situasi menuju kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya pada bulan Mei tahun 1998, lebih abu-abu. Tidak terlalu jelas, siapa mengkhianati siapa, dan siapa membela siapa. Anatomi konspirasinya serba samar-samar. Meski, ada juga, beberapa nama penting yang disebutkan berperan seputar peralihan kekuasaan, seperti misalnya Harmoko (Ketua MPR/DPR-RI), Jenderal Wiranto (Panglima ABRI) dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto (Panglima Kostrad, menantu Presiden Soeharto) dan beberapa nama ikutan seperti Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin, Saadilah Mursjid (Menteri Sekertaris Negara) dan beberapa tokoh ICMI yang ada di lingkaran Wakil Presiden BJ Habibie. Pada sisi kepentingan lain, ada juga nama-nama seperti Drs. Ir Ginandjar Kartasasmita dan beberapa anggota kabinet lainnya, Jenderal Hartono (Menteri Dalam Negeri) maupun Siti Hardianti Rukmana (Menteri Sosial, puteri sulung Jenderal Soeharto) plus sejumlah figuran lainnya. Beberapa di antara nama-nama itu sempat dianalogikan sebagai Brutus bagi Jenderal Soeharto. Sampai akhir hayatnya, ada yang oleh Soeharto tak pernah mau ditemui lagi.
Berlanjut ke bagian 2 (sociopolitica's blog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar