REP | 31 March 2014 |
Siapa sangka, di belakang tokoh yang gembar-gembor mengusung ekonomi kerakyatan bernama Prabowo Subianto, calon presiden RI dari Partai Gerindra (apabila kuota Presidential Threshold memenuhi), ada kepentingan keluarga Rothschild untuk tujuan penguasan tambang-tambang di Indonesia.
Bagaimana bisa? Bukankah Rothschild selalu mengedepankan kebebasan pasar, investasi asing dan pemangkasan kekuasaan negara atas capital?
Ketika saya ke melancong ke Bali akhir tahun 2013, seorang teman dari Amerika Serikat, beliau bekerja bersama George Friedman dalam lembaga bernama Strategic Forecast atau yang lebih dikenal sebagai Stratfor.
Beliau katakan, para global bankers (termasuk Rothschild) menerapkan pola kebebasan pasar untuk menaklukkan negara-negara Barat. Alasannya, karena Barat adalah tempat mereka berasal, para global bankers itu, sehingga siapapun yang menduduki kekuasaan jangan sampai menghalangi kompetisi para pemilik modal.
Perlakuan berbeda diterapkan pada negara-negara Timur, khususnya yang pernah dekat dengan ideologi Kiri atau Komunisme. Mereka, para global bankers itu belajar pada kasus Rusia. Barat berhasil mendemokratisasi Uni Soviet, memecah belah negara-negara di dalamnya, tetapi mereka tidak mampu memenangkan sepenuhnya kompetisi di kawasan eks-Uni Soviet.
Kenapa?
Karena dengan mendemokratisasi dan memberikan kebebasan pasar, maka kekuatan modal pribumi juga memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan berkongsi dagang, sehingga pada akhirnya penguasaan penuh tidak dapat dilakukan.
Di sisi lain, pada negara-negara eks-komunis atau yang terpengaruh pada ideologi kiri seperti Indonesia, terdapat karakter yang mendorong wacana nasionalisasi atau wacana yang menolak produk-produk asing. Khususnya ketika senjang ekonomi masyarakat sudah semakin jauh.
Kapitalis Barat juga belajar dari beberapa negara Amerika Latin yang berhasil menasionalisasi sejumlah aset-aset Barat yang berarti kerugian maha besar bagi para Global Bankers.
Belajar dari kasus Uni Soviet dan Amerika Latin, para global bankers melihat perlunya dilakukan adaptasi terhadap pola untuk penguasaan negara-negara berkarakter kiri tersebut. Solusinya adalah, perlunya mengunci industri pada kekuasaan negara dan investasi asing dibuka secara selektif.
Apa artinya ini?
Sebuah pasar yang eksklusif. Hanya investor yang menjadi “Sahabat atau Strategic Partnership” kekuasaan negara saja yang bisa melakukan investasi. Pola ini berhasil diterapkan para Global Bankers di China. Dengan sistem investasi selektif seperti China, tidak semua investor bisa investasi di China, sehingga hanya beberapa saja yang bisa mengolah pasar China atau memproduksi disana dengan murah lalu menjualnya ke seluruh dunia dengan selisih / laba yang lebih besar.
Menurut rekan Stratfor tersebut, pola yang sama menjadi salah satu opsi bagi para Global Bankers untuk Indonesia. Alasannya jelas, Indonesia memiliki sumber daya melimpah, batubara, CPO, emas, tembaga, timah, minyak, gas bumi dan sebagainya.
Membiarkan Indonesia terbuka secara pasar terlalu luas tidak menguntungkan. Mereka, para Global Bankers itu, lebih menyukai jika Indonesia tidak terbuka pasarnya dan dikuasai negara, sehingga hanya segelintir investor Strategis (Strategic Partnership) yang menjalin hubungan erat dengan kekuasaan Indonesia saja yang diizinkan mengolah sumber daya.
Dalam pola ini, ujar rekan Stratfor tersebut, akan bermunculan tokoh-tokoh yang menjual isu “Nasionalisme” namun sebenarnya mereka ini tidak lain hanya boneka asing untuk penguasaan aset secara eksklusif.
Dan itulah mengapa Rothschild mendukung Prabowo sebagai salah satu opsi. Untuk tujuan penguasaan tambang secara eksklusif di Indonesia.
Hubungan Prabowo Subianto dengan keluarga Rothschild dilakukan melalui Hashim Djojohadikusumo (adik kandung Prabowo) yang memang menjadi pendana utama gerakan Prabowo melalui Gerindra, Tidar dan sebagainya.
Hashim Djojohadikusumo merupakan pendiri Arsari Group yang berkantor pusat di Mid Plaza (Intercontinnental Hotel). Semua keuangan bisnisnya Hashim, pendanaan Gerindra, Prabowo dan lainnya diatur dari salah satu lantai tertutup di gedung tersebut.
Hashim dulu menjadi pemilik tambang batubara Adaro Indonesia sebelum diambil alih dengan skema keuangan licik oleh Edwin Suryajaya melalui bonekanya Sandiaga Uno, pemilik Saratoga Group. Sandiaga Uno bekerja sama dengan Bank Mandiri dipimpin Agus Martowardoyo dan Deutsche Bank untuk merebut paksa saham Adaro Indonesia dengan skema Hostile Takeover (pengambilalihan paksa).
Kehilangan Adaro Indonesia yang merupakan salah satu tambang tunggal batubara terbesar di Indonesia, membuat Hashim lebih banyak main minyak di luar negeri. Salah satunya Nation’s Energy yang memiliki ladang minyak di negara-negara bekas Uni Soviet seperti Kazakhztan dan sebagainya.
Di Rusia, Hashim cukup dekat dengan kelompok penguasa tambang Rusia seperti bangsawan Rusia Oleg Deripaska dan Reuben Brothers (investor Yahudi global asal London). Oleg Deripaska dan Reuben Brothers bersama Nat Rothschild dan Peter Mandelson (politikus Rusia) berinvestasi bersama di United Company Rusia Aluminium (Rusal).
Melalui pertemanannya dengan Reuben Brothers dan Oleg Deripaska, Hashim juga diperkenalkan dengan Robert Friedland, seorang Yahudi pemain tambang legendaris asal AS. Robert Friedland memiliki tambang emas dan tembaga raksasa di kawasan Mongolia dan menjual hasil tambangnya salah satunya ke Rusia, sehingga Robert Friedland juga dekat dengan Oleg Deripaska dan Reuben Brothers.
Robert Friedland kemudian memperkenalkan Hashim kepada Nat Rothschild untuk keperluan mengambil alih tambang batubara di Indonesia. Robert Friedland diminta bantuan oleh Nat Rothschild untuk mengumpulkan investor untuk membentuk konsorsium dalam rangka akuisisi tambang-tambang di Indonesia.
Pada September 2012, Hashim dipertemukan dengan Nat Rothschild oleh Robert Friedland di London. Nat Rothschild mempresentasikan konsepnya untuk penguasaan tambang di Indonesia. Nat Rothschild juga menyebutkan kalau kerjasama dengan Hashim ini akan menjadi kerjasama strategis jangka panjang, karena Prabowo Subianto, kakak Hashim sedang maju Pilpres 2014.
Seperti biasa, Rothschild selalu berbisnis apabila juga didukung kekuatan politik. Contoh, ketika membentuk British Petroleum (BP), Rothschild bekerja sama dengan kerajaan Inggris. Ketika Rothschild membentuk Royal Dutch Shell untuk menggali ladang minyak di Sumatera, Indonesia satu abad lalu, Rothschild menggandeng Kerajaan Belanda. Begitu pula ketika membentuk Rusal bersama Reuben Brothers, mereka menggandeng Oleg Deripaska dari barisan kebangsawanan Rusia.
Di Indonesia, Rothschild telah memiliki hubungan dengan Partai Demokrat dan Presiden SBY melalui Hillary Clinton. Pasangan Bill Clinton dan Hillary Clinton di AS didukung secara pendanaan oleh Lynn Forester de Rothschild, pemilik sekaligus Chairman di majalah The Economist.
Namun, mendukung Partai Demokrat saja tidak cukup, karena SBY banyak digoyang oleh kompetitor utamanya seperti Partai Golkar dan PDIP. Rothschild sempat merapat ke keluarga Bakrie untuk 2 alasan. Pertama, menjalin bisnis untuk menguasai tambang-tambangnya Bakrie. Kedua, menjalin hubungan politik mengingat Ical hendak maju sebagai Capres Golkar.
Sayangnya, rencana itu gagal dan dibatalkan juga karena 2 alasan. Pertama, Ical dinilai sulit menang karena banyak masalah mulai dari utang, Lapindo, pajak, konflik internal Golkar dan sebagainya. Kedua, perusahaan Bakrie dinilai Rothschild terlalu banyak bermain skema-skema keuangan berisiko tinggi, sehingga tidak aman.
Akan tetapi, keluarga Rothschild tetap menginginkan tambang-tambang yang dikuasai Bakrie Group, khususnya PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Berau Coal Tbk (BRAU) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Namun pengambilalihan tidak dapat dilakukan dengan kerjasama strategis karena alasan di atas. Maka harus dicari jalan lain.
Dari dunia internasional, Rothschild mengangkat dosa-dosa keuangan Bakrie untuk menghantam saham-saham Bakrie agar bisa dibeli murah. Dari sisi nasional, Rothschild perlu dukungan dari kandidat yang potensial menang untuk nantinya menggoyang tambang-tambang, termasuk tambangnya Bakrie melalui penataan ulang regulasi pertambangan. Rothschild perlu ‘boneka politik’ yang bisa menang dan mampu menggoyang regulasi tambang.
Prabowo sebagai tokoh yang gembar-gembor isu nasionalisme menjadi sasaran empuk bagi Rothschild. Dengan isu nasionalisme, tentu akan mudah menggoyang regulasi tambang sehingga Rothschild bisa merebut tambang-tambang itu lewat kapal-kapalnya yang lain nantinya.
Sebagai informasi, Rothschild sebetulnya sudah memiliki kaki di Indonesia sejak lama. Bahkan sebelum negara ini berdiri. Pada pemerintahan Orde Baru, hubungan dagang juga tidak dapat dibangun secara politik karena persoalan Suharto yang anti Yahudi.
Hubungan Rothschild dengan tanah Nusantara sebetulnya sudah berlangsung lebih dari 100 tahun. Demam bisnis minyak pada paruh kedua abad 19 (tahun 1.800-an) dipicu oleh kesuksesan Standard Oil milik John D Rockefeller yang didirikan tahun 1870 di Amerika Serikat. Kesuksesan Rockefeller mendorong Rothschild ikutan mengincar bisnis minyak.
Baku Oil di Rusia adalah bisnis minyak Rothschild yang pertama. Kemudian pada tahun 1885, Royal Dutch milik kerajaan Belanda menemukan minyak di Sumatera, Hindia Belanda. Sayangnya, Belanda sebagai penjajah berkarakter Agraris kurang menguasai bisnis minyak. Rothschild yang melihat “peluang” itu lantas mengakuisisi perusahaan jual beli kerang dan jasa angkut laut bernama Shell Transport and Trading Company (didirikan tahun 1833) milik Samuel Marcus. Shell yang semula perusahaan jual beli kerang dan jasa angkut laut, kemudian disulap menjadi perusahaan minyak
Melalui jaringan kuat Rothschild di kerajaan-kerajaan Eropa, termasuk Belanda, kemudian terbentuklah Royal Dutch Shell, kongsi bisnis minyak Rothschild dengan pemerintah Belanda untuk mengeruk minyak Sumatera.
Royal Dutch Shell juga menjadi perusahaan minyak pertama yang memiliki kapal angkut minyak untuk melalui Terusan Suez. Terusan Suez adalah kanal yang dibangun oleh dana Rothschild untuk mengangkut minyak dari Baku Oil di Rusia, juga milik Rothschild.
Tanpa Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Rusia ke Eropa jauh lebih mahal karena harus memutar Afrika. Besarnya biaya angkut Rothschild sebelum adanya Terusan Suez membuat bisnis minyak Rothschild kalah dari Rockefeller. Dengan adanya Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Baku Oil di Rusia dan Shell di Sumatera menjadi jauh lebih murah. Kombinasi Baku Oil di Rusia - Shell di Sumatera dan Terusan Suez menjadikan Rothschild sejajar dengan Rockefeller di bisnis minyak.
Tak hanya itu, Rothschild juga ikut serta dalam pembentukan British Petroleum, kongsi bisnis minyak antara Rothschild dengan pemerintah Inggris. Jadi jangan heran kalau Rothschild bisa begitu berkuasa di dunia modern ini, beliau termasuk di antara sedikit orang yang mengendalikan bisnis minyak dunia.
Pada sektor tambang, Rothschild juga tercatat sebagai pemilik Rio Tinto yang dibelinya pada tahun 1880. Rio Tinto merupakan raksasa tambang, termasuk yang mengendalikan bisnis batubara Australia bersama BHP Biliton yang juga dikendalikan oleh Rothschild.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia masa kini?
Sangat jelas. Rothschild melalui kepemilikannya di British Petroleum, Rio Tinto dan BHP Biliton sempat menguasai aset-aset batubara nasional, terutama sebelum memasuki era milenium. Tambang batubara Kaltim Prima Coal (KPC) sebelum diambil alih grup Bakrie dimiliki oleh British Petroleum dan Rio Tinto, masing-masing memiliki 50% saham, sedangkan tambang Arutmin Indonesia juga dimiliki oleh BHP Biliton dan Yayasan Ekakarsa Yasakarya, sebelum dibeli oleh grup Bakrie.
Ketika masa konsesi KPC di bawah Rio Tinto dan British Petroleum serta konsesi Arutmin di bawah BHP Biliton habis, grup Bakrie melalui Bumi Resources mengambil alih tambang tersebut dari tangan asing, lebih tepatnya Rothschild. Akuisisi grup Bakrie terhadap 2 perusahaan tambang ini tuntas pada tahun 2004.
Hengkang dari batubara di Indonesia tak membuat Rothschild urungkan niat untuk kembali ke Indonesia. Apalagi, bisnis batubaranya di Rio Tinto dan BHP Biliton tengah terancam. Krisis pasar modal global 2008 yang disebabkan oleh kekacauan kredit rumah berisiko tinggi (Subprime Mortgage), menghantam ekonomi barat.
Negara-negara Barat tak lagi mampu memborong habis batubara yg dijual BHP Biliton dan Rio Tinto milik Rothschild. Rothschild sempat wacanakan merger Rio Tinto dan BHP Biliton untuk mengatasi krisis keuangan, tapi batal. Rothschild melihat, BHP Biliton dan Rio Tinto yang tambangnya ada di Australia, memerlukan pembeli batubara di Asia. Pembeli batubara Rio Tinto dan BHP Biliton yang semua negara-negara Barat mengalami penurunan daya beli akibat krisis 2008.
China, India, Jepang yang menjadi pembeli batubara besar di kawasan Asia menjadi sasaran perubahan target pasar Rio Tinto dan BHP Biliton. Sayangnya, China, India dan Jepang tak mau beli batubara Rio Tinto dan BHP Biliton yang ada di Australia. Akan ada pembengkakan ongkos angkut jika China, Jepang dan India membeli dari Australia (Rio Tinto dan BHP Biliton). Rio Tinto dan BHP Biliton milik Rothschild pun tak mampu menekan harga menghadapi harga pembelian batubara di Asia. Sementara China, India dan Jepang sudah nyaman membeli batubara dari Indonesia.
Tahukah kamu, 25% batubara Jepang dibeli dari Bumi Resources milik Bakrie?
Jadi kalau Bumi Resources bangkrut, seperempat Jepang mati lampu. Harga jual batubara Indonesia ke India, China dan Jepang juga lebih murah karena ongkos kirim lebih rendah. Batubara Rothschild, Rio Tinto dan BHP Biliton tak mampu menyaingi harga jual batubara Indonesia ke China, Jepang dan India. Rothschild akhirnya putuskan harus menguasai tambang batubara di Indonesia secara langsung. Agar batubara Rio Tinto dan BHP Biliton dapat dipasok dan dijual melalui tambang di Indonesia. Selain itu, kartel harga tentunya.
Rothschild lalu membentuk Vallar Plc untuk investasi (baca : rebut tambang2 strategis) di Indonesia. Selain Vallar Plc, Nat Rothschild juga membentuk Vallares Plc untuk mengambil migas-migas Indonesia. Vallar dan Vallares. Sepasang kekasih karya Nat Rothschild untuk menguasai tambang di Indonesia.
Gagal berkongsi dengan Bakrie yang dinilai kurang berpotensi menang dan bisnisnya dijalankan dengan risiko tinggi, Rothschild pilih jalan lain, menggandeng Hashim Djojohadikusumo untuk agenda penguasaan tambang di Indonesia.
Melalui perkenalan yang diperantarai Robert Friedland, orang yang ditunjuk Rothschild menjadi pemimpin konsorsium tersebut, Nat Rothschild pun menawarkan kerjasama bisnis dan politik tersebut kepada Hashim. Pada Oktober 2012 (satu bulan setelah presentasi Rothschild kepada Hashim di London), Hashim memberikan persetujuan atas proposal tersebut.
Dimulailah kongsi Rothschild sebagai perwakilan Global Bankers / Investor dengan Hashim Djojohadikusumo sebagai perwakilan bisnis sekaligus mewakili kakaknya Prabowo Subianto untuk agenda penguasaan tambang-tambang di Indonesia.
Mari kita simak pernyataan Hashim sebelum dan sesudah bergabung dengan Nat Rothschild, di bawah ini :
Bisnis Indonesia : 1 Maret 2012 (Sebelum Hashim Berkongsi dengan Rothschild)
Kompas, Kontan dan Okezone : 19 Februari 2013 (setelah Hashim bergabung dengan Rothschild)
http://politik.kompasiana.com
Siapa sangka, di belakang tokoh yang gembar-gembor mengusung ekonomi kerakyatan bernama Prabowo Subianto, calon presiden RI dari Partai Gerindra (apabila kuota Presidential Threshold memenuhi), ada kepentingan keluarga Rothschild untuk tujuan penguasan tambang-tambang di Indonesia.
Bagaimana bisa? Bukankah Rothschild selalu mengedepankan kebebasan pasar, investasi asing dan pemangkasan kekuasaan negara atas capital?
Ketika saya ke melancong ke Bali akhir tahun 2013, seorang teman dari Amerika Serikat, beliau bekerja bersama George Friedman dalam lembaga bernama Strategic Forecast atau yang lebih dikenal sebagai Stratfor.
Beliau katakan, para global bankers (termasuk Rothschild) menerapkan pola kebebasan pasar untuk menaklukkan negara-negara Barat. Alasannya, karena Barat adalah tempat mereka berasal, para global bankers itu, sehingga siapapun yang menduduki kekuasaan jangan sampai menghalangi kompetisi para pemilik modal.
Perlakuan berbeda diterapkan pada negara-negara Timur, khususnya yang pernah dekat dengan ideologi Kiri atau Komunisme. Mereka, para global bankers itu belajar pada kasus Rusia. Barat berhasil mendemokratisasi Uni Soviet, memecah belah negara-negara di dalamnya, tetapi mereka tidak mampu memenangkan sepenuhnya kompetisi di kawasan eks-Uni Soviet.
Kenapa?
Karena dengan mendemokratisasi dan memberikan kebebasan pasar, maka kekuatan modal pribumi juga memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan berkongsi dagang, sehingga pada akhirnya penguasaan penuh tidak dapat dilakukan.
Di sisi lain, pada negara-negara eks-komunis atau yang terpengaruh pada ideologi kiri seperti Indonesia, terdapat karakter yang mendorong wacana nasionalisasi atau wacana yang menolak produk-produk asing. Khususnya ketika senjang ekonomi masyarakat sudah semakin jauh.
Kapitalis Barat juga belajar dari beberapa negara Amerika Latin yang berhasil menasionalisasi sejumlah aset-aset Barat yang berarti kerugian maha besar bagi para Global Bankers.
Belajar dari kasus Uni Soviet dan Amerika Latin, para global bankers melihat perlunya dilakukan adaptasi terhadap pola untuk penguasaan negara-negara berkarakter kiri tersebut. Solusinya adalah, perlunya mengunci industri pada kekuasaan negara dan investasi asing dibuka secara selektif.
Apa artinya ini?
Sebuah pasar yang eksklusif. Hanya investor yang menjadi “Sahabat atau Strategic Partnership” kekuasaan negara saja yang bisa melakukan investasi. Pola ini berhasil diterapkan para Global Bankers di China. Dengan sistem investasi selektif seperti China, tidak semua investor bisa investasi di China, sehingga hanya beberapa saja yang bisa mengolah pasar China atau memproduksi disana dengan murah lalu menjualnya ke seluruh dunia dengan selisih / laba yang lebih besar.
Menurut rekan Stratfor tersebut, pola yang sama menjadi salah satu opsi bagi para Global Bankers untuk Indonesia. Alasannya jelas, Indonesia memiliki sumber daya melimpah, batubara, CPO, emas, tembaga, timah, minyak, gas bumi dan sebagainya.
Membiarkan Indonesia terbuka secara pasar terlalu luas tidak menguntungkan. Mereka, para Global Bankers itu, lebih menyukai jika Indonesia tidak terbuka pasarnya dan dikuasai negara, sehingga hanya segelintir investor Strategis (Strategic Partnership) yang menjalin hubungan erat dengan kekuasaan Indonesia saja yang diizinkan mengolah sumber daya.
Dalam pola ini, ujar rekan Stratfor tersebut, akan bermunculan tokoh-tokoh yang menjual isu “Nasionalisme” namun sebenarnya mereka ini tidak lain hanya boneka asing untuk penguasaan aset secara eksklusif.
Dan itulah mengapa Rothschild mendukung Prabowo sebagai salah satu opsi. Untuk tujuan penguasaan tambang secara eksklusif di Indonesia.
Hubungan Prabowo Subianto dengan keluarga Rothschild dilakukan melalui Hashim Djojohadikusumo (adik kandung Prabowo) yang memang menjadi pendana utama gerakan Prabowo melalui Gerindra, Tidar dan sebagainya.
Hashim Djojohadikusumo merupakan pendiri Arsari Group yang berkantor pusat di Mid Plaza (Intercontinnental Hotel). Semua keuangan bisnisnya Hashim, pendanaan Gerindra, Prabowo dan lainnya diatur dari salah satu lantai tertutup di gedung tersebut.
Hashim dulu menjadi pemilik tambang batubara Adaro Indonesia sebelum diambil alih dengan skema keuangan licik oleh Edwin Suryajaya melalui bonekanya Sandiaga Uno, pemilik Saratoga Group. Sandiaga Uno bekerja sama dengan Bank Mandiri dipimpin Agus Martowardoyo dan Deutsche Bank untuk merebut paksa saham Adaro Indonesia dengan skema Hostile Takeover (pengambilalihan paksa).
Kehilangan Adaro Indonesia yang merupakan salah satu tambang tunggal batubara terbesar di Indonesia, membuat Hashim lebih banyak main minyak di luar negeri. Salah satunya Nation’s Energy yang memiliki ladang minyak di negara-negara bekas Uni Soviet seperti Kazakhztan dan sebagainya.
Di Rusia, Hashim cukup dekat dengan kelompok penguasa tambang Rusia seperti bangsawan Rusia Oleg Deripaska dan Reuben Brothers (investor Yahudi global asal London). Oleg Deripaska dan Reuben Brothers bersama Nat Rothschild dan Peter Mandelson (politikus Rusia) berinvestasi bersama di United Company Rusia Aluminium (Rusal).
Melalui pertemanannya dengan Reuben Brothers dan Oleg Deripaska, Hashim juga diperkenalkan dengan Robert Friedland, seorang Yahudi pemain tambang legendaris asal AS. Robert Friedland memiliki tambang emas dan tembaga raksasa di kawasan Mongolia dan menjual hasil tambangnya salah satunya ke Rusia, sehingga Robert Friedland juga dekat dengan Oleg Deripaska dan Reuben Brothers.
Robert Friedland kemudian memperkenalkan Hashim kepada Nat Rothschild untuk keperluan mengambil alih tambang batubara di Indonesia. Robert Friedland diminta bantuan oleh Nat Rothschild untuk mengumpulkan investor untuk membentuk konsorsium dalam rangka akuisisi tambang-tambang di Indonesia.
Pada September 2012, Hashim dipertemukan dengan Nat Rothschild oleh Robert Friedland di London. Nat Rothschild mempresentasikan konsepnya untuk penguasaan tambang di Indonesia. Nat Rothschild juga menyebutkan kalau kerjasama dengan Hashim ini akan menjadi kerjasama strategis jangka panjang, karena Prabowo Subianto, kakak Hashim sedang maju Pilpres 2014.
Seperti biasa, Rothschild selalu berbisnis apabila juga didukung kekuatan politik. Contoh, ketika membentuk British Petroleum (BP), Rothschild bekerja sama dengan kerajaan Inggris. Ketika Rothschild membentuk Royal Dutch Shell untuk menggali ladang minyak di Sumatera, Indonesia satu abad lalu, Rothschild menggandeng Kerajaan Belanda. Begitu pula ketika membentuk Rusal bersama Reuben Brothers, mereka menggandeng Oleg Deripaska dari barisan kebangsawanan Rusia.
Di Indonesia, Rothschild telah memiliki hubungan dengan Partai Demokrat dan Presiden SBY melalui Hillary Clinton. Pasangan Bill Clinton dan Hillary Clinton di AS didukung secara pendanaan oleh Lynn Forester de Rothschild, pemilik sekaligus Chairman di majalah The Economist.
Namun, mendukung Partai Demokrat saja tidak cukup, karena SBY banyak digoyang oleh kompetitor utamanya seperti Partai Golkar dan PDIP. Rothschild sempat merapat ke keluarga Bakrie untuk 2 alasan. Pertama, menjalin bisnis untuk menguasai tambang-tambangnya Bakrie. Kedua, menjalin hubungan politik mengingat Ical hendak maju sebagai Capres Golkar.
Sayangnya, rencana itu gagal dan dibatalkan juga karena 2 alasan. Pertama, Ical dinilai sulit menang karena banyak masalah mulai dari utang, Lapindo, pajak, konflik internal Golkar dan sebagainya. Kedua, perusahaan Bakrie dinilai Rothschild terlalu banyak bermain skema-skema keuangan berisiko tinggi, sehingga tidak aman.
Akan tetapi, keluarga Rothschild tetap menginginkan tambang-tambang yang dikuasai Bakrie Group, khususnya PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Berau Coal Tbk (BRAU) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Namun pengambilalihan tidak dapat dilakukan dengan kerjasama strategis karena alasan di atas. Maka harus dicari jalan lain.
Dari dunia internasional, Rothschild mengangkat dosa-dosa keuangan Bakrie untuk menghantam saham-saham Bakrie agar bisa dibeli murah. Dari sisi nasional, Rothschild perlu dukungan dari kandidat yang potensial menang untuk nantinya menggoyang tambang-tambang, termasuk tambangnya Bakrie melalui penataan ulang regulasi pertambangan. Rothschild perlu ‘boneka politik’ yang bisa menang dan mampu menggoyang regulasi tambang.
Prabowo sebagai tokoh yang gembar-gembor isu nasionalisme menjadi sasaran empuk bagi Rothschild. Dengan isu nasionalisme, tentu akan mudah menggoyang regulasi tambang sehingga Rothschild bisa merebut tambang-tambang itu lewat kapal-kapalnya yang lain nantinya.
Sebagai informasi, Rothschild sebetulnya sudah memiliki kaki di Indonesia sejak lama. Bahkan sebelum negara ini berdiri. Pada pemerintahan Orde Baru, hubungan dagang juga tidak dapat dibangun secara politik karena persoalan Suharto yang anti Yahudi.
Hubungan Rothschild dengan tanah Nusantara sebetulnya sudah berlangsung lebih dari 100 tahun. Demam bisnis minyak pada paruh kedua abad 19 (tahun 1.800-an) dipicu oleh kesuksesan Standard Oil milik John D Rockefeller yang didirikan tahun 1870 di Amerika Serikat. Kesuksesan Rockefeller mendorong Rothschild ikutan mengincar bisnis minyak.
Baku Oil di Rusia adalah bisnis minyak Rothschild yang pertama. Kemudian pada tahun 1885, Royal Dutch milik kerajaan Belanda menemukan minyak di Sumatera, Hindia Belanda. Sayangnya, Belanda sebagai penjajah berkarakter Agraris kurang menguasai bisnis minyak. Rothschild yang melihat “peluang” itu lantas mengakuisisi perusahaan jual beli kerang dan jasa angkut laut bernama Shell Transport and Trading Company (didirikan tahun 1833) milik Samuel Marcus. Shell yang semula perusahaan jual beli kerang dan jasa angkut laut, kemudian disulap menjadi perusahaan minyak
Melalui jaringan kuat Rothschild di kerajaan-kerajaan Eropa, termasuk Belanda, kemudian terbentuklah Royal Dutch Shell, kongsi bisnis minyak Rothschild dengan pemerintah Belanda untuk mengeruk minyak Sumatera.
Royal Dutch Shell juga menjadi perusahaan minyak pertama yang memiliki kapal angkut minyak untuk melalui Terusan Suez. Terusan Suez adalah kanal yang dibangun oleh dana Rothschild untuk mengangkut minyak dari Baku Oil di Rusia, juga milik Rothschild.
Tanpa Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Rusia ke Eropa jauh lebih mahal karena harus memutar Afrika. Besarnya biaya angkut Rothschild sebelum adanya Terusan Suez membuat bisnis minyak Rothschild kalah dari Rockefeller. Dengan adanya Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Baku Oil di Rusia dan Shell di Sumatera menjadi jauh lebih murah. Kombinasi Baku Oil di Rusia - Shell di Sumatera dan Terusan Suez menjadikan Rothschild sejajar dengan Rockefeller di bisnis minyak.
Tak hanya itu, Rothschild juga ikut serta dalam pembentukan British Petroleum, kongsi bisnis minyak antara Rothschild dengan pemerintah Inggris. Jadi jangan heran kalau Rothschild bisa begitu berkuasa di dunia modern ini, beliau termasuk di antara sedikit orang yang mengendalikan bisnis minyak dunia.
Pada sektor tambang, Rothschild juga tercatat sebagai pemilik Rio Tinto yang dibelinya pada tahun 1880. Rio Tinto merupakan raksasa tambang, termasuk yang mengendalikan bisnis batubara Australia bersama BHP Biliton yang juga dikendalikan oleh Rothschild.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia masa kini?
Sangat jelas. Rothschild melalui kepemilikannya di British Petroleum, Rio Tinto dan BHP Biliton sempat menguasai aset-aset batubara nasional, terutama sebelum memasuki era milenium. Tambang batubara Kaltim Prima Coal (KPC) sebelum diambil alih grup Bakrie dimiliki oleh British Petroleum dan Rio Tinto, masing-masing memiliki 50% saham, sedangkan tambang Arutmin Indonesia juga dimiliki oleh BHP Biliton dan Yayasan Ekakarsa Yasakarya, sebelum dibeli oleh grup Bakrie.
Ketika masa konsesi KPC di bawah Rio Tinto dan British Petroleum serta konsesi Arutmin di bawah BHP Biliton habis, grup Bakrie melalui Bumi Resources mengambil alih tambang tersebut dari tangan asing, lebih tepatnya Rothschild. Akuisisi grup Bakrie terhadap 2 perusahaan tambang ini tuntas pada tahun 2004.
Hengkang dari batubara di Indonesia tak membuat Rothschild urungkan niat untuk kembali ke Indonesia. Apalagi, bisnis batubaranya di Rio Tinto dan BHP Biliton tengah terancam. Krisis pasar modal global 2008 yang disebabkan oleh kekacauan kredit rumah berisiko tinggi (Subprime Mortgage), menghantam ekonomi barat.
Negara-negara Barat tak lagi mampu memborong habis batubara yg dijual BHP Biliton dan Rio Tinto milik Rothschild. Rothschild sempat wacanakan merger Rio Tinto dan BHP Biliton untuk mengatasi krisis keuangan, tapi batal. Rothschild melihat, BHP Biliton dan Rio Tinto yang tambangnya ada di Australia, memerlukan pembeli batubara di Asia. Pembeli batubara Rio Tinto dan BHP Biliton yang semua negara-negara Barat mengalami penurunan daya beli akibat krisis 2008.
China, India, Jepang yang menjadi pembeli batubara besar di kawasan Asia menjadi sasaran perubahan target pasar Rio Tinto dan BHP Biliton. Sayangnya, China, India dan Jepang tak mau beli batubara Rio Tinto dan BHP Biliton yang ada di Australia. Akan ada pembengkakan ongkos angkut jika China, Jepang dan India membeli dari Australia (Rio Tinto dan BHP Biliton). Rio Tinto dan BHP Biliton milik Rothschild pun tak mampu menekan harga menghadapi harga pembelian batubara di Asia. Sementara China, India dan Jepang sudah nyaman membeli batubara dari Indonesia.
Tahukah kamu, 25% batubara Jepang dibeli dari Bumi Resources milik Bakrie?
Jadi kalau Bumi Resources bangkrut, seperempat Jepang mati lampu. Harga jual batubara Indonesia ke India, China dan Jepang juga lebih murah karena ongkos kirim lebih rendah. Batubara Rothschild, Rio Tinto dan BHP Biliton tak mampu menyaingi harga jual batubara Indonesia ke China, Jepang dan India. Rothschild akhirnya putuskan harus menguasai tambang batubara di Indonesia secara langsung. Agar batubara Rio Tinto dan BHP Biliton dapat dipasok dan dijual melalui tambang di Indonesia. Selain itu, kartel harga tentunya.
Rothschild lalu membentuk Vallar Plc untuk investasi (baca : rebut tambang2 strategis) di Indonesia. Selain Vallar Plc, Nat Rothschild juga membentuk Vallares Plc untuk mengambil migas-migas Indonesia. Vallar dan Vallares. Sepasang kekasih karya Nat Rothschild untuk menguasai tambang di Indonesia.
Gagal berkongsi dengan Bakrie yang dinilai kurang berpotensi menang dan bisnisnya dijalankan dengan risiko tinggi, Rothschild pilih jalan lain, menggandeng Hashim Djojohadikusumo untuk agenda penguasaan tambang di Indonesia.
Melalui perkenalan yang diperantarai Robert Friedland, orang yang ditunjuk Rothschild menjadi pemimpin konsorsium tersebut, Nat Rothschild pun menawarkan kerjasama bisnis dan politik tersebut kepada Hashim. Pada Oktober 2012 (satu bulan setelah presentasi Rothschild kepada Hashim di London), Hashim memberikan persetujuan atas proposal tersebut.
Dimulailah kongsi Rothschild sebagai perwakilan Global Bankers / Investor dengan Hashim Djojohadikusumo sebagai perwakilan bisnis sekaligus mewakili kakaknya Prabowo Subianto untuk agenda penguasaan tambang-tambang di Indonesia.
Mari kita simak pernyataan Hashim sebelum dan sesudah bergabung dengan Nat Rothschild, di bawah ini :
Bisnis Indonesia : 1 Maret 2012 (Sebelum Hashim Berkongsi dengan Rothschild)
Kompas, Kontan dan Okezone : 19 Februari 2013 (setelah Hashim bergabung dengan Rothschild)
http://politik.kompasiana.com