Minggu, 30 September 2012
Sabtu, 29 September 2012
Rabu, 26 September 2012
Tamparan Menuju 2014
Rabu, 26 September 2012 |
ShutterstockIlustrasi
Oleh Saldi Isra
Tanpa harus menunggu perhitungan akhir Komisi Pemilihan Umum Daerah, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta: pasangan calon Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) menang atas pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara).
Bahkan, tak perlu waktu lama pula, Fauzi Bowo pun langsung memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Dalam batas penalaran yang wajar, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta seharusnya dimenangkan oleh pasangan Foke-Nara. Selain posisi Foke yang petahana gubernur DKI Jakarta, pasangan Foke-Nara didukung pula oleh koalisi Partai Demokrat, Golkar, Hanura, PAN, PKB, PBB, PMB, PKNU, PPP, dan PKS. Berdasarkan hasil pemilu anggota DPRD DKI Jakarta 2009, koalisi tambun (over-size) parpol pendukung Foke-Nara ini meraih lebih dari 73 persen suara pemilih.
Sementara itu, masih dalam batas penalaran yang wajar pula, harusnya duet Jokowi-Basuki tak masuk putaran kedua, apalagi memenangi pemilihan. Selain bukan petahana di DKI Jakarta, Jokowi-Basuki hanya didukung oleh PDI-P dan Gerindra dengan dukungan suara kurang dari 16 persen pemilih. Jikalau hanya melihat basis dukungan parpol, capaian Jokowi-Basuki dapat dinilai amat fenomenal.
Dari berbagai perspektif, kemenangan Jokowi-Basuki adalah bentuk kemenangan akal sehat dan sekaligus kehancuran pragmatisme parpol pendukung Foke-Nara. Dikatakan begitu, gejala umum yang berkembang beberapa waktu belakangan, parpol lebih mengandalkan dukungan uang dan kekuasaan daripada figur yang punya pemahaman kuat terhadap kebutuhan rakyat.
Merujuk bentangan fakta hasil pemilihan gubernur DKI, yang perlu dapat apresiasi adalah logika pemilih tak mau ditaklukkan oleh logika parpol. Bahkan, saat parpol berjalan dengan logikanya sendiri, berapa pun banyak dan besarnya koalisi dibangun, pemilih mampu membuktikan, daulat rakyat lebih mangkus dibandingkan daulat parpol.
Apabila diletakkan dalam konteks target yang hendak dicapai dari pemilu, kekalahan Foke-Nara harus dibaca sebagai bentuk hukuman nyata pemilih bagi parpol yang tak peduli dengan suara rakyat. Bahkan lebih jauh dari itu, hasil pemilihan gubernur DKI benar-benar menjadi tamparan hebat di tengah hegemoni parpol menuju Pemilu 2014.
Tetap sentralistik
Hadirnya pasangan Jokowi- Basuki memang terbilang unik. Selain pendatang baru di tengah belantara politik Jakarta, keduanya lebih tepat dikatakan sebagai eksperimen PDI-P dan Gerindra di tengah ”kerumunan” parpol yang sejak semula cenderung merapat ke Foke-Nara. Karena itu, tidak terlalu berlebihan pendapat politikus senior Partai Golkar, Zainal Bintang, hasil Pilkada DKI menunjukkan bulan madu politik pencitraan dan parpol yang hanya berorientasi pada kekuasaan sudah di ujung senja (Kompas, 22/9).
Sebetulnya, tawaran untuk memilih tokoh alternatif tidak hanya bersumber dari duet Jokowi-Basuki. Ketika putaran pertama, Faisal Basri-Biem Benjamin juga hadir sebagai calon alternatif. Dengan adanya calon alternatif yang tidak tunggal, keberhasilan pasangan Jokowi-Basuki membuktikan bahwa calon alternatif masih perlu dukungan mesin yang efektif untuk meraih dukungan pemilih. Tanpa itu, bukan tidak mungkin nasib yang menimpa Faisal-Biem akan berlaku pula kepada Jokowi-Basuki.
Terlepas dari keberhasilan pasangan racikan PDI-P dan Gerindra ini, apabila boleh sedikit menoleh ke belakang, hadirnya pasangan Jokowi-Basuki belum merupakan hasil dari sebuah proses internal parpol yang terbuka dan partisipatif. Dengan posisi itu, hadirnya duet Jokowi-Basuki tetap harus dipandang sebagai bentuk hegemoni parpol dengan proses yang sentralistik (top- down). Untungnya hasil pilihan hegemoni masih bisa diterima pemilih sebagai tokoh alternatif.
Sekiranya Jokowi-Basuki ditawarkan sebagai hasil dari sebuah proses yang terbuka dengan pola yang bottom-up, kehadirannya akan kelihatan lebih elegan dan orisinal. Banyak kalangan berpikir, dengan proses yang partisipatif, parpol dipaksa memiliki pola yang demokratis dalam mengajukan calon guna mengisi jabatan politik strategis, termasuk dalam pengisian jabatan kepala daerah. Tanpa sebuah pola yang baku, hegemoni parpol sulit dipangkas. Dalam proses pemilihan gubernur DKI, misalnya, parpol bisa menawarkan calon alternatif yang diterima rakyat. Namun, karena pola internal yang tidak baku dan tak terbuka, sangat mungkin di tempat lain terjadi perilaku yang sebaliknya.
Menuju 2014
Merupakan pilihan bijak sekiranya kita segera keluar dan meninggalkan euforia kemenangan duet Jokowi-Basuki. Menuju Pemilu 2014, terutama pemilihan presiden (dan wakil presiden), berharap kepada parpol untuk menghadirkan tokoh alternatif sangat mungkin seperti seekor burung pungguk merindukan bulan. Bagaimanapun, sejauh ini belum kelihatan partai membuka dan menyediakan ruang bagi calon alternatif.
Kalau ada yang berpandangan bahwa kemunculan Jokowi-Basuki membuka peluang munculnya kader potensial dari internal parpol yang selama ini terhalang hegemoni elite tertinggi parpol menuju Pemilu 2014, pandangan demikian akan segera terkoreksi. Melihat gejala saat ini, parpol lebih banyak memosisikan diri sebagai ”perahu” bagi elite tertinggi menuju 2014. Pola yang mapan terbangun, posisi sebagai elite tertinggi parpol menjadi semacam jalan bebas hambatan menuju posisi RI-1 atau RI-2.
Karena itu, kader potensial yang berasal dari internal parpol yang berpeluang jadi calon alternatif sulit muncul ke permukaan. Dalam hal ini, figur seperti Teras Narang dan Ganjar Pranowo (PDI-P), Jusuf Kalla dan Hajriyanto Tohari (Golkar), Yuddy Chrisnandi (Hanura), Lukman Hakim Saifuddin (PPP), Fadli Zon (Gerindra), serta puluhan nama lainnya tak mungkin menjadi figur alternatif. Mereka hanya mungkin hadir sekiranya parpol melakukan proses perekrutan yang bottom-up dan terbuka.
Kalau yang dari internal tidak mudah, tentunya calon alternatif dari luar parpol jauh lebih sulit. Merujuk aturan yang ada, kesulitan ini benar-benar jadi jalan buntu karena tak tersedianya ruang bagi calon perseorangan (yang bukan diajukan parpol) menjadi calon presiden. Karena itu, figur seperti Moh Mahfud MD, Anies Baswedan, Irman Gusman, Imam B Prasodjo, Teten Masduki, dan sederetan nama lain sulit hadir menjadi calon sebagai alternatif. Bahkan, kalau publik mendesak PDI-P dan Gerindra mengajukan Jokowi kembali sebagai calon alternatif menuju Pemilu 2014, kedua parpol ini pasti akan menolak.
Dalam batas-batas tertentu, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta memberi sedikit ”kemewahan” dalam panggung politik negeri ini. Namun, kemewahan akan munculnya calon alternatif dalam Pemilu 2014 hampir mustahil terjadi. Kemustahilan itu hanya mungkin meluruh kalau parpol mau dan mampu mengambil pelajaran dari tamparan yang hadir dari hasil pemilihan gubernur DKI.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang; Anggota Badan Pekerja Forum Kebangsaan Gerakan Indonesia Memilih
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary
Jokowi Digugat Rp343 Miliar
Bramantyo - Okezone
Rabu, 26 September 2012 13:12 wib wib
Jokowi (Foto: Okezone/Bramantyo)
SOLO - Sidang perdana gugatan dua warga Solo, Jawa
Tengah, terhadap Joko Widodo (Jokowi) digelar di Pengadilan Negeri
Surakarta. Dua warga tersebut menganggap Jokowi melanggar sumpah jabatan
sebagai wali kota dan melakukan praktik wanprestasi. Jokowi digugat
sebesar Rp343 miliar.
Pengacara penggugat, Hadi Fahrudin, menjelaskan, saat terpilih sebagai wali kota untuk periode kedua, Jokowi berjanji akan mengemban amanat rakyat Solo sampai habis masa jabatannya hingga 2015 mendatang.
“Saat kampanye dulu, Jokowi berjanji akan menjadi wali kota dan itu diucapkan saat kampanye di mana-mana. Selain itu, Jokowi juga sudah mengucapkan sumpah atau janji jabatan sebagai Wali Kota Solo di hadapan anggota DPRD dan masyarakat untuk menjaga amanat sampai habis masa jabatannya,” jelas Hadi, saat ditemui Okezone di PN Surakarta, Rabu (26/9/2012).
Menurut dia, dengan mengikuti pilgub DKI, Jokowi sama saja telah melecehkan masyarakat Solo. Padahal, saat pemilukada lalu, warga Solo mutlak mendukung Jokowi sehingga dia mampu mengumpulkan 248.243 suara atau sekira 90 persen.
“Itu kan sebagai wujud kecintaan warga Solo terhadap Jokowi, tapi kok ditinggalkan begitu saja,” ucap Hadi.
Sementara itu, salah seorang penggugat Jokowi, Paidi, mengatakan, gugatan itu dilayangkan karena dia tidak rela Jokowi menjadi Gubenur DKI Jakarta sebelum masa tugasnya sebagai wali kota berakhir.
“Kami tidak rela Jokowi jadi Gubenur DKI Jakarta kalau jabatan di Solo belum tuntas. Apalagi, Jokowi telah menikmati fasilitas yang dananya dari keringat warga Solo,” kata Paidi, usai sidang. Dia juga berharap PN Surakarta memutus perkara ini dengan adil.
Sementara itu, pengacara Jokowi, Suharso, meminta pihak pengadilan tidak melanjutkan persidangan. Pasalnya, gugatan yang dilayangkan tidak mendasar dan mengada-ada.
Dalam sidang perdana itu, pihak pengadilan memberi kesempatan dua pihak untuk melakukan mediasi.
(ton)
Pengacara penggugat, Hadi Fahrudin, menjelaskan, saat terpilih sebagai wali kota untuk periode kedua, Jokowi berjanji akan mengemban amanat rakyat Solo sampai habis masa jabatannya hingga 2015 mendatang.
“Saat kampanye dulu, Jokowi berjanji akan menjadi wali kota dan itu diucapkan saat kampanye di mana-mana. Selain itu, Jokowi juga sudah mengucapkan sumpah atau janji jabatan sebagai Wali Kota Solo di hadapan anggota DPRD dan masyarakat untuk menjaga amanat sampai habis masa jabatannya,” jelas Hadi, saat ditemui Okezone di PN Surakarta, Rabu (26/9/2012).
Menurut dia, dengan mengikuti pilgub DKI, Jokowi sama saja telah melecehkan masyarakat Solo. Padahal, saat pemilukada lalu, warga Solo mutlak mendukung Jokowi sehingga dia mampu mengumpulkan 248.243 suara atau sekira 90 persen.
“Itu kan sebagai wujud kecintaan warga Solo terhadap Jokowi, tapi kok ditinggalkan begitu saja,” ucap Hadi.
Sementara itu, salah seorang penggugat Jokowi, Paidi, mengatakan, gugatan itu dilayangkan karena dia tidak rela Jokowi menjadi Gubenur DKI Jakarta sebelum masa tugasnya sebagai wali kota berakhir.
“Kami tidak rela Jokowi jadi Gubenur DKI Jakarta kalau jabatan di Solo belum tuntas. Apalagi, Jokowi telah menikmati fasilitas yang dananya dari keringat warga Solo,” kata Paidi, usai sidang. Dia juga berharap PN Surakarta memutus perkara ini dengan adil.
Sementara itu, pengacara Jokowi, Suharso, meminta pihak pengadilan tidak melanjutkan persidangan. Pasalnya, gugatan yang dilayangkan tidak mendasar dan mengada-ada.
Dalam sidang perdana itu, pihak pengadilan memberi kesempatan dua pihak untuk melakukan mediasi.
(ton)
Intervensi Partai Pendukung Jokowi-Basuki, Bentuk Arogansi Politik
JAKARTA, KOMPAS.com - Meski KPU Provinsi DKI Jakarta belum mengeluarkan hasil penghitungan suara resmi pilkada DKI, dua partai politik pengusung pasakang Joko Widodo-Basuki Thajaja Purnama sudah mulai memasang ancang-ancang.
Kedua partai politik itu -PDI Perjuangan dan Gerindra- sudah mulai mengincar untuk ikut serta dalam penyusunan jajaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Langkah kedua parpol ini menurut pakar psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk bisa diartikan sebagai bentuk arogansi politik dan perlawanan terhadap publik.
"Untuk apa dua partai itu ikut cawe-cawe tentang siapa yang berhak duduk di jajaran SKPD. Kalau begitu, sama saja dengan gubernur lama nantinya," kata Hamdi, saat dihubungi, Selasa (25/9/2012).
Keberhasilan pasangan Jokowi-Basuki pada Pilkada DKI Jakarta 2012 ini seharusnya dilihat merupakan hasil kerja keras dan kinerja yang solid dari para relawan yang umumnya anak-anak muda yang rindu perubahan.
Ide-ide segar yang mampu membuat mata warga Jakarta melirik pasangan Jokowi-Basuki adalah jerih payah relawan. Tidak hanya itu, sosok sederhana dan terbuka pasangan Jokowi-Basuki juga meruntuhkan gambaran calon yang berasal dari partai politik selama ini.
Namun sikap partai pendukung yang kontribusinya tidak terlalu besar ini justru bisa menjadi blunder politik.
"Kemenangan Jokowi-Basuki lebih dominan ditentukan oleh masifnya relawan bekerja," ujar Hamdi.
"Klaim kedua partai dan intervensi di pemerintahan Jokowi-Basuki ini dapat mengancam kinerja pemerintahan baru," imbuhnya.
Untuk itu, Hamdi mengusulkan, agar Jokowi ketika resmi menjabat gubernur tetap konsekuen dan menjaga komitmen untuk transparan pada publik.
Dengan transparansi maka intervensi kedua parpol yang kemungkinan menghambat program yang sudah direncanakan bisa diketahui publik.
"Jika memang ada intervensi. Dua partai itu terancam berhadapan dengan publik yang dulu mendukung Jokowi-Basuki," tandasnya.
Pada Senin (24/9/2012) lalu, anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Gerindra, Sanusi, mengungkapkan telah mengajukan sejumlah nama untuk ditempatkan dalam SKPD pada pemerintahan Jokowi-Basuki.
Namun pernyataan ini mendapat perlawanan keras dari sesama anggota DPRD DKI Jakarta yaitu Boy Sadikin dari Fraksi PDI P.
Boy menegaskan hal tersebut hanya pernyataan sepihak dari pihak Gerindra bukan keputusan dari tim sukses.
"Itu klaim sepihak dari Sanusi bukan dari timses. Timses saat ini masih menunggu keputusan KPU Provinsi," tegas Boy.
Editor :
Ervan Hardoko
Langganan:
Postingan (Atom)