Rabu, 14 November 2012

Densus 88 Bekuk 10 Terduga Teroris

EPA
Densus 88 saat penggerebekan di Solo, 23 September.
Tim Detasemen Khusus Antiteror 88 atau Densus 88 akhir pekan lalu menahan 10 terduga teroris serta mengamankan bom-bom rakitan. Mereka diduga merencanakan serangan terhadap fasilitas pemerintahan dan jajaran kepolisian.  Kelompok militan di Indonesia akhir-akhir ini mengalihkan target serangan mereka dari kedutaan besar dan warga negara Barat. Menurut para pengamat bidang keamanan, teroris merencanakan serangan skala lebih kecil terhadap kepolisian dan tokoh-tokoh politik, yang dianggap menghalang-halangi penerapan hukum syariah di Indonesia.
Sabtu kemarin, dua terduga teroris ditangkap di Solo, Jawa Tengah. Kepolisian mendapat informasi mengenai lokasi mereka dari anggota sel militan lain yang sebelumnya menyerahkan diri.
Interogasi terhadap kedua tersangka itu memungkinkan penangkapan terhadap enam tersangka lain di Solo. Berdasarkan keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Boy Rafli Amar, selama akhir pekan kemarin seorang tersangka teroris lainnya juga ditangkap di Kalimantan Barat . Hari Minggu, jumlah terduga teroris yang ditangkap menjadi sepuluh orang disusul dibekuknya Joko Parkit di Solo. Ia adalah adalah kakak dari seorang terduga teroris yang tewas tertembak polisi pada 2009.
Liputan televisi memperlihatkan tim polisi bersenjata berat mengamankan komponen-komponen bahan peledak dari beberapa tempat di Solo.
Boy Rafli, seperti dikutip Associated Press, mengatakan dua tersangka bernama Badri Hartono dan Rudi Kurnia Putra adalah anggota inti dari sebuah kelompok yang berencana meledakkan gedung MPR/DPR dan mengincar anggota tim Densus 88. “Mereka merekrut anak-anak muda untuk dilatih di kamp ‘jihad’ bergaya militer. Mereka juga membeli bahan-bahan bom,” lanjut Boy.
Hubungan antara kelompok Solo ini dengan kelompok militan lain masih belum jelas. Selain itu, masih belum diketahui sejauh mana kemajuan yang dicapai kelompok itu. Salah satu anggotanya yang bernama Muhammad Toriq beberapa pekan lalu menyerahkan diri di Jakarta. Menurut kepolisian, Toriq yang membawa sabuk bom kosong berencana menyerang kepolisian, Densus 88, atau warga penganut Buddha.
Gerakan militan Indonesia saat ini sudah tak lagi mengincar warga asing, dan cenderung membidik pihak pemerintah. Sejak Maret, kepolisian sudah menahan lebih dari 30 terduga teroris dan menewaskan beberapa militan lain. Semua terduga itu dituduh berencana menyerang petugas keamanan setempat.
International Crisis Group (ICG) yang berpusat di Brussels bulan Juli lalu menyatakan bahwa kalangan militan lebih berhati-hati dalam memilih target, setelah kepolisian berhasil meredam aksi mereka dalam beberapa tahun terakhir. Sel-sel militan itu lebih fokus dalam rekrutmen. Mereka menjangkau lembaga pemasyarakatan dan forum-forum chatting di internet untuk menjaring calon teroris. Setelah penggerebekan jaringan pelatihan di Aceh tahun 2010, para pemimpin sel tampaknya lebih hati-hati dalam melakukan rekrutmen.
Sel-sel itu juga semakin terpecah-belah. Banyak yang memisahkan diri dari Jamaah Islamiyah, kelompok di balik Bom Bali 10 tahun lalu yang sudah kehilangan banyak pengaruh berkat tekanan dari kepolisian.
Kelompok yang saat ini aktif umumnya terkait dengan Jamaah Anshorut Tauhid, yang didirikan oleh Abu Bakar Baasyir tahun 2008. Ulama garis keras ini, yang mengaku tak bersalah, masih menjalani vonis penjara 15 tahun atas tuduhan keterlibatan dengan kamp di Aceh.
Pembubaran kamp pelatihan Aceh itu berimbas pada sel-sel militan saat ini, yang tampaknya relatif kurang pengalaman dan keterampilan. Menurut ICG, sel-sel itu “umumnya terdiri atas anak-anak muda tak berpengalaman yang tidak memiliki keterampilan, disiplin, dan visi strategis seperti generasi teroris sebelumnya, yakni angkatan bom Bali yang dilatih di perbatasan Afghanistan-Pakistan antara 1985 dan 1994.”